Istilah - Istilah dalam Rampanan Kapa
1. ISTILAH :
a.
Rampanan
kapa’ – pa’sullean allo :
Banyak orang memberikan makna
tentang rampanan kapa’. Ada yang mengartikannya berdasarkan sifatnya.Kapa’
= kapas / kapuk yang jika dilihat putih
bersih; dipegang halus, diangkat ringan. Kapa’ = nikah, pernikahan. Rumampan
kapa’ / ma’kapa’ = menikah. Kapa’ juga berarti denda yang harus dibayar oleh
orang yang menyebabkan perceraian.
Orang Toraja mengambil kapas
sebagai lambang cinta kasih dalam rumah-tangga. Cinta kasih itu suci dan murni,
lemah-lembut, murah hati. Jika seorang suami atau istri melepaskan kapas,
jatuhnya tak berbunyi (tang unnoni tang
kumarissing). Dijatuhi pun orang tak akan merasa sakit. Hal itu
melambangkan kata-kata yang keluar dari mulut suami atau isteri tidak menyakitkan
pasangan atau anggota keluarga maupun orang lain. Pa’sullean
allo : sulle = ganti; hal mengganti hari muda ke hari tua. Status
pemuda-pemudi diresmikan menjadi tua, bapak dan ibu.
Ada’ bagi orang Toraja adalah
sesuatu (perbuatan) yang dianggap baik dan berguna bagi semua orang, dilakukan
berulang-ulang dan dipelihara serta diwariskan turun-temurun kepada anak-cucu. Adat
dilakukan dengan intensi yang baik, dimohonkan berkat dari Tuhan (Puang Matua,
dewa dan para arwah). Jika perbuatan itu telah berlalu satu musim potong padi dan
tidak terjadi musibah atau kejadian negatif maka hal itu dianggap telah
disetujui Tuhan (mamata lalanna = memberi
harapan). Ketika hal itu telah berlangsung lama dan selalu terjadi kedamaian,
ketenteraman bahkan kesejahteraan bagi keluarga maupun masyarakat maka
perbuatan itu membuahkan hasil/ memberi berkah, (torro paria – unnisung pantaranak), maka hal itu wajib dilakukan
terus-menerus bahkan harus diwariskan kepada anak-cucu (dianna batu silambi’-ditanan punti tang mate-disedan karangan siratuan).
Demikianlah adat perkawinan dalam masyarakat Toraja. Perbuatan Nene’ moyang
yang dialami memberikan berkat kemudian diyakini sebagai perbuatan yang
direstui Tuhan maka dipelihara terus-menerus.
b. Tananan dapo’ – unnosok dapo’ - mendapo’
Tananan dapo’ = hal membuat dapur
dengan tiga atau lima batu tungku (lalikan), berumah tangga. Untanan dapo’
menanam dapur sebagai sesuatu yang tumbuh dan hidup (memulai berumah tangga). Tuo rambunna (asapnya hidup) = dapur
selalu berasap pertanda kehidupan berjalan. Tondok nanai tuo rambunna artinya
tempat di mana dia menjalani kehidupannya. Di sana dia mendapat haknya dan menjalankan
kewajibannya terhadap masyarakatnya.
Mendapo’moraka tu anakmu? Apakah
anakmu telah membuat dan memiliki dapur sendiri, artinya menjalankan kehidupannya sendiri
tanpa tergantung dari orang tua (“Apakah anakmu telah berumah tangga). Sama
artinya dengan “ussarakkimo kalena” =
ia telah memisahkan diri dari orang tua untuk bersatu dengan isteri/ suami.
2. ASAL-USUL PERKAWINAN ADAT TORAJA
Menurut kepercayaan nenek moyang,
perkawinan adat dalam masyarakat Toraja berasal dari langit. Sebagaimana
manusia pertama berasal dari langit (To
Manurun diLangi’) Datu Laukku dan Datu Laettan datang membawa Aluk sanda
pitunna. Di dalam aluk sanda pitunna itulah terdapat peraturan Rampanan Kapa’ /
perkawinan yang dipelihara dengan baik oleh nenek moyang sehingga menjadi adat
turun-temurun.
Orang Toraja berpandangan bahwa
kehidupan di mulai di atas langit oleh para dewa (Deata-deata). Para dewa kawin mawin dan berkembang biak. Di antara para
dewa terdapat manusia yang mempunyai kuasa ilahi. Manusia pertama yang turun ke
bumi Datu Laukku’ berjalan bersama dewa (to
lumingka sola deata). Ia melihat bahwa langit sudah sempit dan ingin turun
ke bumi (tang maluangmo langi’-tang
mabombamo batara). Tuhan Allah (Puang Matua) mengizinkan dia turun dengan
membawa aluk sanda pitunna (serba tujuh = 7777777) peraturan yang telah
diciptakan oleh Puang Matua di langit. Sesampai di bumi Datu Laukku (manurun diLangi’) melihat Datu Laettan
manusia yang muncul dari air sedang mandi. Manurun di Langi’ ingin segera
mengawininya. Namun to Bu’tu riwai bertanya, “Apakah engkau mempunyai hukum
dari langit, mau kawin tanpa aturan?” Manurun diLangi’ segera kembali ke langit
bertanya tentang hal itu. Dia disuruh
melakukan persembahan (Piong
sanglampa-pesung sang daun). Sesudah Manurun diLangi’ melakukan persembahan
muncullah Datu Laettan dan mereka menikah (ma’rampanan
kapa’). Itulah perkawinan yang berdasarkan Aluk sanda pitunna direstui para
dewa dan Puang Matua.
Demikian pula ketika Arrang di Batu,
dewa yang sedang mencari isteri. Dia mendengar suara wanita Simbolong manik
dari dalam batu wadas. Dia berusaha terus memahat batu wadas itu namun tidak bisa
menemukan Simbolong Manik. Arrang diBatu naik ke langit bertanya kepada orang
tuanya bagaimana cara mengambil wanita itu. Ibunya menyuruh dia melakukan
persembahan di atas batu wadas itu. Maka keluarlah Simbolong Manik gadis cantik dengan senyum yang menawan
hati. Maka kawinlah Arrang diBatu dengan Simbolong Manik (ma’rampanan kapa’) berdasarkan Aluk peraturan dari langit.
Dari berbagai ceritera yang
dikutif dari Passomba Tedong dapatlah disimpulkan bahwa perkawinan (Rampanan kapa’) dalam masyarakat Toraja
berdasarkan Aluk (agama/ kepercayaan) karena diciptakan oleh Puang Matua.
Perkawinan tidak boleh dilaksanakan tanpa izin dari penguasa Aluk dan manusia.
Menurut To Minaa (pemimpin agama)
menjelaskan dari mana mulanya rampanan kapa’ itu. Katanya, mekutanaki’ lako nene’ (aku bertanya kepada
leluhur), “Kamukah yang menciptakan Aluk Rampanan kapa’ pada mulanya? Tidak,
bukan kami. Kami hanya mewarisi dan memeliharanya, Puang Matua di atas
langitlah yang menciptakannya”. (Tang
kamira umpalalanni, pa’palalanna ia Puang Matua lako Datu Laukku’ sola Datu
Laettan).
Adat perkawinan (ada’na ma’rampanan kapa’) dirancang dan dimulai
di atas langit oleh Puang Matua, diterima dan dipelihara oleh manusia pertama
(Pong Mulatau) kemudian diwariskan kepada anak-cucu. Peraturan itulah yang diwariskan
turun-termurun di antara manusia yang kemudian menjadi adat kebiasaan (ada’na
rampanan kapa’). Aluk/ peraturan itu diturunkan dari langit bersamaan dengan
turunnya manusia pertama.
Aluk yang mengatur hubungan
manusia dengan Dewa (Sang Pencipta), hubungan vertikal dipelihara dengan baik
serta dilaksanakan dengan teliti dan teratur dalam hubungan dengan sesama
manusia (hubungan horizontal) menjadi adat (ada’). Maka adat perkawinan telah
menjadi sendi kehidupan berdasarkan dua hal: Aluk dan Ada’, jadi diatur oleh hukum agama dan hukum
adat. Ada’
dalam pandangan orang Toraja adalah suatu perbuatan yang baik dan berguna,
dilakukan berulang-ulang, terus-menerus yang kemudian membuahkan kedamaian,
ketenteraman, kesejahteraan serta
kebahagiaan.
Bagi penganut kepercayaan Aluk
Todolo (kepercayaan asli) melanggar hukum adat sekaligus melanggar hukum agama
yang disebut Pemali. Pelanggaran itu
merusak hubungan antara manusia dengan dewa (Tuhan) sekaligus merusak hubungan
antara sesama manusia dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Pemulihan atas
pelanggaran tersebut harus juga berdasarkan kedua aspek, religius maupun
sosial. Salah satu contoh pelanggaran dalam hukum adat dan agama misalnya
terjadi incest dalam keluarga. Tuhan marah karena manusia melanggar aturan
agama atau aluk; masyarakat kacau karena ada pelanggaran adat. Akibat dari
perbuatan itu adalah rusaknya tatanan kihidupan (tallu lolona) tidak ada kedamaian. “Tang mellomo ambong-tang mentarukmo leme’”. Semua mahluk hidup
rusak, padi dan tanaman lain tidak berbuah/ rusak dimakan ulat, tikus, dll;
hewan piaraan tidak berkembang, penyakitan, dll.
Maka hubungan antara sesama
manusia dalam masyarakat dan Tuhan harus dipulihkan kembali melalui peradilan
adat. Yang bersalah harus menyiapkan babi atau kerbau untuk dikorbankan. Babi
dipotong di hadapan masyarakat dipimpin oleh kepala adat. Darah babi atau
kerbau ditumpahkan ke tanah dan asap kurban bakaran membubung ke langit agar dewa dan Puang Matua tidak marah lagi.
Upacara yang didoai oleh ToMinaa (Imam) disaksikan oleh masyarakat dan
keluarga. Dengan selesainya upacara
tersebut tidak ada lagi dendam amarah, telah terjadi rekonsiliasi.
No comments:
Post a Comment