TINGKATAN-TINGKATAN PERKAWINAN ADAT TORAJA
1. Sino’bo’ bannang : pelaksanaan perkawinan dengan cara
yang sangat sederhana. Menjelang malam calon pengantin laki-laki diantar oleh
beberapa orang ke rumah perempuan. Di sana mereka diterima oleh keluarga
perempuan dengan makan malam bersama. Lauk yang dimakan pada saat itu hanyalah
ikan-ikan atau dengan memotong seekor ayam saja. Tidak ada upacara resmi, hanya
dengan salam-salaman, perkenalan dan makan bersama.
2. Perkawinan yang lebih tinggi: Rampo Karoen: Sebelum mata
hari terbenam calon mempelai laki-laki diantar ke rumah perempuan oleh beberapa
orang laki-laki, perempuan tidak boleh ikut mengantar laki-laki. Dalam perkawinan ini dipotong seekor babi
sebagai lauk-pauk. Sebelum makan malam dilaksanakan upacara sederhana yang
dipimpin oleh seorang Tominaa (Imam dan pemangku Adat). Calon pengantin
berhadapan di dalam rumah sebelah selatan (sumbung). Laki-laki menghadap ke
timur dan perempuan ke barat, sedangkan Tominaa menghadap dari utara. Di tengah
pengantin ada dulang (kandean langka’) berisi makanan: nasi, daging babi bagian jantung (bua bai) dan pesese (tulang
pinggul). Dari kandean langka’ itulah pengantin mengambil makanan bersamaan.
Laki-laki mengambil pesese bai sebagai lambang bahwa dia harus memakai
tembilang/ mencari makanan; perempuan mengambil daging bua/ jantung babi sebagai lambang bahwa dia
selalu berhati murni menjalin hidup dalam rumah tangga.
3. Perkawinan Rampo Allo : Upacara perkawinan yang
dilaksanakan pada
siang hari. Perkawinan ini untuk tingkat bangsawan (tana’
bulaan). Upacara dihadiri para tokoh adat (toparengnge’), Tominaa dan tamu
undangan. Upacara perkawinan tingkat
tinggi ini menjadi lama karena ada banyak syarat yang harus dilakukan lebih dahulu,
antara lain:
a. Umpalingka kada : Keluarga laki-laki mengutus dua orang
ahli bicara untuk menjajagi keadaan/ status pihak perempuan. Jika pihak
perempuan belum mempunyai ikatan dari lelaki lain.
b. Umparampo pangngan: Keluarga laki-laki mengirim sebungkus
sirih-pinang sebagai tanda lamaran. Jika dalam waktu 3 hari paket ini
tidak dibuka berarti lamaran ditolak; jika dibuka berarti
lamaran di terima, apa lagi kalau langsung dibagi-bagi.
c. Urrampan kapa’: Membicarakan dan menentukan tana’ mana
yang akan dipakai sesuai dengan satatus kedua pasangan itu. Silsilah keturunan
diulas.
d. Sinasuan : saling membuatkan makanan, wanita membuat
makanan untuk laki-laki dan keluarganya dan sebaliknya untuk mempererat tali
kekerabatan.
e. Ma’pasule barasang : Setelah lewat tiga hari pihak
wanita mengunjungi keluarga laki-laki dan makan bersama di rumah laki-laki.
Rombongan membawa bakul barasang serta baka bua yang berisi macam-macam benda
pusaka. Di rumah laki-laki diadakan lagi pesta sederhana dengan makanan yang
dibuat sedemikian hingga membentuk boneka anak-anak, kerbau, babi, ayam dll.
Tominaa melantunkan lagu pa’tendeng yang isinya menantikan bayi yang
sehat, yang kelak jadi pintar dan kaya.
Sesudah selesainya rangkaian upacara perkawinan tersebut pengantin baru dapat
memilih di mana mereka akan tinggal. Mereka bisa memilih tinggal di rumah pihak
laki-laki dapat juga di rumah pihak perempuan.
6. HUBUNGAN SUAMI –
ISTERI DALAM PERKAWINAN
Suami isteri dalam rumah tangga mempunyai kedudukan yang
sama. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Mereka mempunyai hak yang
sama terhadap harta yang diperoleh bersama selama perkawinan (torakna rampanan
kapa’). Sebagaimana biaya perkawinan ditanggung bersama secara seimbang
demikian juga hasil usaha bersama selalu dibagi secara seimbang. Ketika
melaksanakan upacara perkawinan seluruh biaya ditanggung bersama, babi, beras,
uang fifti-fifti jika mereka dalam situasi ekonomi yang sama.
7. KEDUDUKAN ANAK
DALAM PERKAWINAN
Anak adalah buah dari Rampanan Kapa’ (perkawinan). Anak
menjadi tali pengikat (peporinna Rampanan Kapa’) dan menjadi alasan untuk tidak
boleh bercerai. Anak yang lahir diyakini sebagai berkat, maka menjadi tanda
bahwa perkawinan itu direstui dan diberkati Tuhan (telah dikaruniai lolo tau).
Sebaliknya jika tidak ada anak yang lahir dirasakan sebagai perkawinan yang
tidak diberkati dan dikuatirkan keluarga akan rempo buangin (tidak mempunyai
generasi pelanjut). Hal itu bisa menjadi alasan untuk bercerai dan mencari
pasangan lain.
8. HAK DAN KEWAJIBAN
ANAK
a. Anak Dadian (Anak Rampanan Kapa’): Anak kandung yang
lahir dari perkawinan sah secara adat. Semua anak yang lahir dari perkawinan
sah mempunyai hak dan kewajiban yang sama baik laki-laki maupun perempuan.
Mereka mempunyai hak terutama dalam hal menerima warisan dari orang tua ayah
dan ibu.
Selain mempunyai hak yang sama semua anak juga mempunyai
kewajiban yang sama, terutama dalam memelihara orang tua jika sudah tua atau
tidak mampu lagi mengurus dirinya. Semua anak mempunyai kewajiban yang sama
untuk memotong kerbau pada penguburan ayah dan ibunya. Namun kewajiban memotong
kerbau dapat berkurang bila anak tidak mampu sedangkan yang lain lebih mampu.
Imbalannya adalah yang mengorbankan banyak kerbau mendapat banyak harta
warisan. Hak mendapat warisan dan kewajiban berkorban selalu berkaitan. Semua
anak harus berpartisipasi membayar
hutang orang tua, terutama hutang rambu solo’ (unnola lalanna to matua).
Jika semasa masih hidupnya orang tua telah membagi-bagi
harta warisan kepada anak-anaknya semua anak wajib memotong kerbau untuk melindungi
warisannnya (mangrindingi).
b. Anak Sese (setengah = ½ ). Anak sese adalah seseorang
yang mempunyai status ½ (setengah) dari
ayahnya. Hal itu terjadi jika seorang ibu sedang mengandung, ditinggalkan
suaminya, kemudian ibu itu kawin dengan
seorang lelaki lain. Suami baru mempunyai hak setengah atas anak yang sedang
dikandung isterinya, sedangkan ayah yang sebenarnya mempunyai hak setengah.
c. Anak Passarak dilammuran tama tambuk. Orang tua yang
mengadofsi anak tersebut memberi kedudukan yang sama dengan anak kandungnya.
Anak itu mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dengan anak kandung.
e. Anak passarak : (anak piara) . Orang tua menyapih seorang
anak yang sedang menyusuh namun sudah waktunya dipisah dari ibunya.
(disarakki). Orang tua yang menyapih anak itu bertanggung jawab penuh atas
kehidupannya, namun tidak sama kedudukannya dengan anak kandung.
f. Anak kotte’ (anak itik): Seorang anak yang lahir
ditinggalkan orang tuanya. Dia tidak tahu siapa ayah dan ibunya. Dia hanya
dipelihara orang lain tanpa disahkan sebagai anaknya.
9. KEDUDUKAN HARTA
DALAM PERKAWINAN
Harta warisan yang bergerak dan tak bergerak. Harta yang
bergerak misalnya, babi kerbau dan uang, sedangkan yang tidak bergerak misalnya
tanah, sawah, ladang, rumah, lumbung. Harta tersebut menjadi harta bersama.
Jika ada anak lahir dalam perkawian harta akan menjadi warisan bagi anak-anak.
Akan tetapi jika tidak ada anak dan terjadi perpisahan (kematian atau cerai)
harta warisan dari Tongkonan akan kembali menjadi milik Tongkonan
masing-masing. Harta akan menjadi milik kemanakan atau saudara-saudaranya berdasarkan
pengorbanannya ketika orang tersebut meninggal.
Harta yang diperoleh bersama selama dalam perkawinan
(torakna rampanan kappa’) menjadi milik
bersama yang kelak akan menjadi milik anak-anak. Akan tetapi jika tidak
ada anak yang lahir dan terjadi perceraian
harta akan dibagi melalui peradilan adat sesudah yang bersalah membayar kapa’
(denda) sesuai dengan hukum kastanya.
Jika salah satunya meninggal lebih dahulu, yang masih hidup mempunyai
kewajiban menguburkan yang meninggal dengan upacara yang layak. Dengan demikian
harta tetap menjadi milik yang masih hidup sebagai ahli waris yang sah. Ketika
dia juga meninggal keluarga dari kedua belah pihak berunding untuk bersama-sama
mengupacarakannya, dan harta akan dibagi-bagi sesuai dengan jumlah kerbau yang
dipotong pada upacara penguburannya. Dalam perkawinan yang tidak mempunyai anak
tidak ada pertalian dara antara keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan,
maka tanggung jawab menguburkan mereka kalau meninggal ada pada pihak keluarga
masing-masing, jenazah dikembalikan ke dalam kerabat masing-masing.
No comments:
Post a Comment