1. Zaman
Purba Toraja
Sejarah Toraja adalah sejarah yang tidak tertulis tetapi hanyalah sejarah yang dituturkan dari mulut – ke mulut bagi setiap turunan bangsawan serta pujangga Toraja, yang dalam menceritakannya selalu menghubungkan atau mengaitkan dengan satu masalah tertentu, makanya dalam meneliti dan mempelajari serta menggali sejarah Toraja harus selalu meneliti sangkut paut tiap cerita dan kenyataan – kenyataan yang ada, kemudian dapat ditemukan sejarah yang sebenarnya mengenai Tana Toraja dan Suku Toraja yang masih sangat perlu adanya penelitian yang saksama dari para ahli sejarah dan budaya. Namun dari sekian banyak budayawan dan sejarawan menyatakan bahwa penduduk yang pertama-tama menguasai Tondok Lepongan Bulan berasal dari luar daerah Sulawesi Selatan yang diperkirakan datang sekitar abad ke-6 yang datang dengan menggunakan perahu melalui sungai-sungai besar menuju Pegunungan Sulawesi Selatan yang akhirnya menempati daerah pegunungan termasuk Toraja. Hal ini sesuai dengan fakta sejarah yang ada, yang mengatakan kebanyakan dari mereka datangnya dari Selatan Tana Toraja.
Sejarah Toraja adalah sejarah yang tidak tertulis tetapi hanyalah sejarah yang dituturkan dari mulut – ke mulut bagi setiap turunan bangsawan serta pujangga Toraja, yang dalam menceritakannya selalu menghubungkan atau mengaitkan dengan satu masalah tertentu, makanya dalam meneliti dan mempelajari serta menggali sejarah Toraja harus selalu meneliti sangkut paut tiap cerita dan kenyataan – kenyataan yang ada, kemudian dapat ditemukan sejarah yang sebenarnya mengenai Tana Toraja dan Suku Toraja yang masih sangat perlu adanya penelitian yang saksama dari para ahli sejarah dan budaya. Namun dari sekian banyak budayawan dan sejarawan menyatakan bahwa penduduk yang pertama-tama menguasai Tondok Lepongan Bulan berasal dari luar daerah Sulawesi Selatan yang diperkirakan datang sekitar abad ke-6 yang datang dengan menggunakan perahu melalui sungai-sungai besar menuju Pegunungan Sulawesi Selatan yang akhirnya menempati daerah pegunungan termasuk Toraja. Hal ini sesuai dengan fakta sejarah yang ada, yang mengatakan kebanyakan dari mereka datangnya dari Selatan Tana Toraja.
Mereka datang
dalam bentuk kelompok – kelompok yang dalam sejarah Toraja disebut Arroan (kelompok manusia) dan menyusuri
sungai sungai dengan menggunakan perahu , dan setelah mereka tidak bisa lagi
menggunakan perahu karena air deras dan berbatu. Maka mereka menambatkan
perahunya di pinggir sungai dan tebing – tebing (yang kemungkinan dari sinilah
muncul istilah “Toma’ Banua di Toke`“),
karena perahu ini digunakan sebagai tempat berdiam sementara. Arroan itu kemudian berjalan
menuju pegunungan dan berdiam di sana. Menurut sejarah
Toraja, tiap Arroan ini dipimpin oleh Ambe’
Arroan (Ambe’ = bapak; Arroan = Kelompok Manusia). Arroan – arroan ini
rupanya tidak datang sekaligus tetapi beberapa kali dan masing – masing Arroan
menempati tempat tertentu untuk menyusun persekutuan keluarga masing – masing
di bawah pimpinan Ambe’ Arroan. Lama kelamaan anggota dari Arroan – arroan
bertambah banyak dan perlu memiliki tempat tinggal yang lebih luas sehingga
anggota Arroan berpencar mencari tempat yang baru dalam bentuk kelompok yang
lebih kecil yang disebut Pararrak
(Pararrak = Penjelajah) dengan dipimpin oleh Pong Pararrak (Pong = Utama = Pokok) artinya Pimpinan Penjelajah.
Inilah yang
menyebabkan adanya Gelar Ambe’ yang menjadi Siambe’ dan Gelar Pong yang
tersebar luas di Tana Toraja yang kemudian kedua gelar ini dipadukan karena
sumbernya cuma satu
yaitu menjadi nama/gelar Penguasa Adat misalnya
-
Siambe’
Pong Simpin
-
Siambe’
Pong Maramba’
-
Siambe’
Pong Tiku
-
Siambe’
Pong Palita
-
Siambe’
Pong Panimba
-
dll
Dengan meratanya
daerah yang telah dikuasai oleh penyebaran Arroan dan Pararrak, maka seluruh
pelosok pegunungan dan tanah tinggi sudah terdapat penguasa – penguasa kecil
dari turunan Ambe’ dan Pong yang perkembangannya sangat nampak dalam masyarakat
Toraja sampai sekarang di samping gelar penguasa lainnya. Beberapa lama keadaan
berjalan demikian maka dimana-mana sudah terdapat Penguasa Ambe’ dan Pong
Pararrak, dan tersusunlah persekutuan-persekutuan adat kecil.
Kemudian dari
selatan datang pula gelombang penguasa baru yang juga menggunakan perahu melalui
sungai. Penguasa
– penguasa baru ini datang dengan
pengikut – pengikutnya yang dikenal dengan nama Puang – Puang Lembang (Puang =
yang empunya; lembang = perahu) artinya yang empunya perahu. Mereka kemudian
menempati daerah Bambapuang (daerah selatan Toraja yang masuk ke dalam
administrasi pemerintahan Kab. Enrekang saat ini). Penguasa – penguasa ini
mempunyai tata masyarakat tersendiri dan memiliki cara pemerintahan tersendiri,
namun mereka masih dalam kelompok kecil
di daerah Bambapuang. Dari sini pula mereka kemudian menyebar ke daerah lain
dan menjadi penguasa daerah yang ditempatinya, dan tidak lagi dikenal sebagai
Puang Lembang (Empunya Perahu) tetapi Puang dari daerah yang dikuasainya
misalnya :
-
Puang
ri Lembang (Yang empunya perahu)
-
Puang
ri Buntu ( penguasa daerah Buntu)
-
Puang
ri Tabang (penguasa daerah Tabang)
-
Puang
ri Batu (penguasa daerah Batu)
-
Puang
ri Su’pi’ (penguasa daerah Su’pi’)
-
dll.
Setelah para Puang
yang menguasai tiap tempat makin bertambah banyak pengikutnya, maka timbullah
persaingan kekuasaan di antara mereka, dimana sebagian Puang mulai merebut
daerah kekuasaan Pong Pararrak atau Ambe’ Arroan yang lebih dulu memiliki
kekuasaan, dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Hal ini membuat sebagian
Puang membujuk Pong Pararrak dan Ambe’ Arroan untuk bersekutu untuk melawan
Puang yang lain. Persekutuan ini kemudian disebut Bongga (= besar = hebat =
dahsyat). Sebagai pimpinan Bongga maka diangkat Puang yang kuat di antara
mereka yang dalam kedudukannya dinamakan Puang Bongga (yang empunya kekuasaan
yang kuat dan hebat), seperti yang terkenal dalam sejarah Toraja seorang
penguasa Bongga yang terkenal adalah Puang Bongga Erong.
Timbulnya
persekutuan ini menimbulkan pergeseran serta perubahan di sekitar Bambapuang,
yang dalam perkembangannya kemudian muncul seorang penguasa Bongga yang
terkenal yang mengadakan perombakan besar di Bambapuang yaitu Puang Londong di
Rura, yang mempunyai cerita dalam masyarakat Toraja sebagai seorang yang lalim,
keras hati, dan mendapat kutukan dari Puang Matua.
Karena persaingan
yang begitu hebat dan terus – menerus di kalangan Puang – Puang ini, maka
pengaruh dari penguasa Puang di daerah Bambapuang makin merosot, apalagi
setelah terjadi perpindahan beberapa Puang ke bagian utara Bambapuang untuk
mencari tempat yang lebih aman untuk menerapkan pemerintahannya. Tetapi berbeda
dengan Pong Pararrak yang ada di bagian utara, tidak terjadi persaingan karena
masing – masing menguasai daerah yang sudah ditempatinya.
2. Zaman
Kekuasaan Tangdilino’ To banua Puan dan Aluk Sanda Pitunna
Hampir daerah
selatan dalam keadaan kacau balau yang mengakibatkan pengaruh dari Puang makin
lama makin berkurang, maka dalam keadaan yang mengancam peranan dari para
Puang, seorang anak dari Puang Ri
Buntu bernama Tangdilino’ pindah ke daerah Marinding sebagai penguasa baru. Di
Marinding, Tangdilino’ yakin bahwa cara pemerintahan para Puang di daerah
Bambapuang tidak lagi mendapat sambutan dari masyarakat sehingga ia menyusun
suatu tata cara pemerintahan baru sekaligus memerdekakan diri dari kehidupan
para Puang.
Dari selatan (Bambapuang),
Tangdilino’ memindahkan sebuah Tongkonan ke Marinding sebagai pusat
pemerintahan. Menurut cerita, Tongkonan ini dipindahkan tanpa dibongkar
terlebih dulu tetapi hanya didorong di atas rel kayu yang berguling, namun
selalu singgah – singgah dalam perjalanan. Tongkonan ini kemudian diberi nama “Ramba Titodo” (ramba = usir; titodo =
terantuk), dan setelah di Marinding disebut Banua Puan yang artinya “Kekuasaan
Puang yang dipindahkan tetapi tidak lagi melaksanakan tata cara dan aturan
Puang”. Penguasanya kemudian menggunakan gelar “Ma’dika“ .
Karena Tangdilino’
tidak lagi memakai aturan Puang dari selatan (Bambapuang), maka Tangdilino’
menciptakan aturan baru dengan bantuan dari Pong Suloara’ dari Sesean (Utara
Toraja), sehingga tercipta “Aluk Pitung
Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo atau Aluk Sanda Pitunna” (Aluk 7777) yang
bersumber dari Sukaran Aluk yang masih dikuasai oleh Pong Suloara’ dengan dasar Kesatuan Kekeluargaan dan
Kegotongroyongan. Tata cara ini berbeda dengan aturan Puang di Bambapuang
karena kekuasaan Diktator seperti Puang Londong di Rura.
Dengan terciptanya
Aluk Sanda Pitunna maka dalam sejarah Toraja Pong Suloara’ digente’ to untindok sesanna mangsan, to unnala ra’dakna
malabu artinya Pong Suloara’
disebut penyelamat dengan mengambil hal – hal yang baik dari aturan yang sudah
hancur dan menyusun aturan penyelamatan masyarakat yang masih tersisa akibat kelaliman dan
kehancuran Londong di Rura.
Aluk Sanda Pitunna
dari Banua Puan Marinding ini mencakup aturan hidup dan kehidupan manusia serta
aturan memuliakan Puang Matua, menyembah kepada deata dan menyembah kepada To
Membali Puang. (Puang Matua = Sang Pencipta; Deata = Dewata; To Membali Puang =
Arwah leluhur).
Aluk
Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777)
Aluk Sanda Pitunna
adalah Susunan Agama dan Aturan yang didasarkan atas Ajaran Sukaran Aluk yang
mengenal Azas dan Ajaran Tallu Oto’na
(Ajaran Agama dengan 3 Falsafah) dan Azas dan Aturan Adat Kehidupan dengan
dasar Falsafah Ada’ A’pa’ Oto’na
(Adat kehidupan 4 falsafah) yang jelas termaktub dalam Sukaran Aluk seperti
yang nyata dalam perkembangan Adat / Aturan kehidupan masyarakat Toraja. Dengan menggabungkan atau menyambungkan Aluk Tallu Oto’na dengan Ada’ A’pa’ Oto’na maka menjadi jumlah
pitu oto’na (tujuh dasar) berarti agama
dan adat / kebudayaan Toraja saling berkaitan dan berhubungan dan saling mengisi, yang sekarang ini dalam
perkembangannya menggambarkan Aluk Todolo dan Kebudayaan Toraja menjadi satu.
Berhubung adanya
kesatuan hukum yang disebut aluk dalam masyarakat Toraja adalah kesatuan adat
dan agama dan aturan – aturan masyarakat yang tak terhitung banyaknya, maka
disebutlah Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Polu Pitu atau Aluk Sanda
Pitunna (Aluk 7777). Hal itu demikian karena dalam mempergunakan jumlah dengan
menyebut pitung sa’bu pitu ratu’ pitung pulo pitu atau sanda pitunna dengan
jumlah batasan sangsa’bu untuk pengertian limit atau tidak terbatas, adalah
karena dalam mempergunakan jumlah satuan yang paling besar bagi masyarakat
Toraja hanya mengenal sampai jumlah sangsa’bu
(seribu) kemudian turun saratu’
(seratus) kemudian sangpulo (sepuluh)
dan misa’ (satu), dan oleh karena
dasar atau asas aluk adalah tujuh, maka menyebut 7777 jumlah aluk tersebut yang
maksudnya tidak terbatas atau tidak terbilang banyaknya aturan, hukum dan
larangan – larangannya.
Dengan Aluk Sanda
Pitunna (Aluk 7777) Tangdilino’ mengatur dan menyusun pemerintahannnya dan
membina kekuasaannya dari Tongkonan Banua Puang Marinding dengan menentukan
satuan daerah kekuasaannya yang diberikan nama Tondok Lepongan Bulan Tana
Matarik Allo, karena kesatuan yang bulat dengan mempergunakannya hanya satu
aturan atau aluk tersebut di atas yang berpancar dari satu pusat ajaran dan
aturan dengan lambang Barre Allo
(Barre=terbit, allo=matahari) karena maksudnya kekuasaan dan kehidupan yang
memancarkan aturan – aturan kehidupan manusia. Seluruh daerah yang
mempergunakan Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda
Pitunna (Aluk 7777) adalah daerah yang mempergunakan Lambang Barre Allo seperti
terlihat pada depan dari rumah – rumah
Adat Toraja, maka daerah yang dimaksud adalah seluruhnya termasuk dalam
kesatuan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo.
Dalam ajaran Aluk
Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk
7777) menyatakan bahwa Agama dan aturan
kehidupan itu adalah berasal dari Puang Matua (sang pencipta) yang diturunkan
kepada nenek manusia yang pertama bernama Datu Laukku’ yang masih dipegang
teguh oleh Pong Sulo Ara’ dari Sesean sebelah Utara Tana Toraja yang disebut
Sukaran Aluk (sukaran = ketentuan=susunan=ukuran, aluk = agama=aturan)
Tangdilino’
menikah dengan seorang putri Puang yaitu Puang ri Tabang sepupunya bernama Buen
Manik dan dari perkawinan itu melahirkan sembilan orang anak yang kelak akan
menyebarkan ajuran Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk
Sanda Pitunna (Aluk 7777) serta akan melebarkan kekuasaan dan peranan dari
Tangdilino’ dengan pusat kekuasannya dari Banua Puan Marinding, dan anaknya itu
masing – masing :
- Tele Bue pergi ke daerah Duri.
- Kila’ pergi ke daerah Buakayu
- Bobong pergi ke daerah Mamasa
- Parange pergi ke daerah Buntao’
- Pata’ba’ pergi ke daerah Pantilang
- Lanna pergi ke daerah Sangalla’
- Sirrang pergi ke daerah Dangle’ (Lea (Makale))
- Patabang tinggal di Marinding
- Pabane pergi ke daerah Kesu’
Kesembilan anak –
anak Tangdilino’ tersebut diberikan tugas dan kekuasaan oleh Tangdilino’ untuk
menyebarkan Ajaran Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk
Sanda Pitunna (Aluk 7777) serta menguasai tiap – tiap daerah yang didatangi
oleh mereka. Dengan tersebarnya anak – anak Tangdilino’, maka resmilah
terbentuknya daerah yang dimaksud dengan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik
Allo yang menggunakan ajaran Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau
Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) dengan falsafah hidup yang berdasarkan Kesatuan
Kekeluargaan dan Kegotongroyongan. Yang termasuk Tondok Lepongan Bulan Tana
Matarik Allo ialah daerah yang
menggunakan Barre Allo (bentuk matahari terbit) sebagai tanda terikat pada
kesatuan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo.
Anak – anak
Tangdilino’ dalam menjalankan aturan Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo
Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) harus mengikuti perkembangan di daerah
tersebut dengan tugas utamanya menyebarkan ajaran Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’
Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) dengan lambang kesatuan
daerah Tondok Lepongan Bulan Barre Allo, tetapi mengenai gelar dan nama
penguasa serta kedudukan penguasa tiap tempat yang didatangi tetap digunakan
seperti daerah yang telah bergelar Puang tetap digunakan gelar tersebut,
demikian pula dengan yang telah menggunakan gelar Siambe’. Akan tetapi ada
daerah yang belum memiliki gelar sehingga diterapkan gelar Ma’dika sebagai gelar
yang diciptakan Tangdilino’.
Bahwa dalam ajaran
Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk
7777) telah ditetapkan garis – garis pokok yang akan diikuti oleh penganutnya,
dan penerapannya harus memperhatikan kondisi dan keadaan setempat guna
memudahkan penyebaran Aluk tersebut, maka penyebaran Aluk Pitung Sa’bu Pitu
Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) di seluruh daerah
Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo
terbagi atas 3 menurut kondisi daerah masing – masing.
Untuk membedakan
ketiga daerah tersebut maka dibagi menjadi 3 berdasarkan Lesoan Aluk Tananan
Bua’ (Upacara Pengucapan Syukur yang tertinggi) yaitu :
1) Bagian
Timur dengan Dasar Lesoan Aluk Tananan
Bua’ Pemala’ Tedong Sangayoka, yaitu dengan upacara tertinggi dengan kurban
2 ekor kerbau (Sangayoka = sepasang). Daerah ini disebut Daerah Adat Pekamberan
atau Padang di Ambei’ dengan penguasanya
adalah Siambe’ / Sindo’.
2) Bagian
Tengah dengan Dasar Lesoan Aluk Tananan
Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’, upacara tertinggi dengan 24 ekor kerbau,
Daerah ini disebut Daerah Kapuangan atau Padang dipuangi dengan penguasanya
adalah Puang.
3) Bagian
Barat dengan Dasar Lesoan Aluk Tananan
Bua’ Pemala’ Tedong Sangbua Bannang, upacara tertinggi dengan kurban 1 ekor
kerbau. Daerah ini disebut Daerah Adat Kama’dikan atau Padang dima’dikai dengan
penguasanya adalah Ma’dika
Hal ini pulalah
yang membuat daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo terbagi menjadi 3 daerah adat besar di
kemudian hari. Walaupun kelihatannya berbeda tetapi pelaksanaan aturan pada
masing-masing daerah masih mengikuti Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777).
Dengan
terbentuknya ketiga daerah tersebut di Toraja pada masa anak – anak
Tangdilino’, maka sejak itu tiap daerah berkembang sesuai dengan kondisi setempat
yang mana masing – masing daerah memiliki Ahli Aluk dan Adat sebagai orang yang
pertama menyebarkan Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk
Sanda Pitunna (Aluk 7777) yaitu :
1)
Daerah
Timur yaitu daerah adat pekamberan berkembang dengan aturan pelaksanaan dari Siambe’ Pong Pasontik
2)
Daerah
Tengah yaitu daerah adat Kapuangan berkembang dengan aturan pelaksanaan oleh Puang Pabane’
3)
Daerah
Barat yaitu daerah adat Kama’dikan berkembang dengan aturan pelaksanaan dari Ma’dika Tangdililing atau Pondan Padang.
Dalam sejarah
Toraja sejak dari zaman purba sampai abad ke-12,Toraja telah mengalami 3 kali
perubahan bentuk kekuasaan
dan pemerintahan dengan gelar masing – masing bagi penguasa – penguasanya
karena mengikuti gelombang datangnya penguasa tersebut. Perubahan itu adalah :
1)
Penguasa
pertama dengan Gelar Ambe’ atau Siambe’ Pong (berasal dari Ambe’ Arroan atau Pong
Pararrak), maka terjadilah Gelar Siambe’ Pong misalnya :
-
Siambe’
Pong Simpin
-
Siambe’
Pong Tiku
-
Siambe’
Pong Maramba’
-
Siambe’
Pong Panimba
-
Siambe’
Pong Palita, dll
2)
Penguasa
yang ketiga dengan gelar Puang sebagai penguasa yang terbentuk dari Bambapuang
daerah selatan Toraja, asalnya
dari Puang Lembang yang setiap gelarnya disambung dengan nama atau daerah
tempatnya misalnya :
-
Puang
ri Buntu
-
Puang
ri Papan Sura’
-
Puang
ri Tabang
-
Puang
ri Su’pi’
-
Puang
ri Barang
-
Puang
ri Buntuborong, dll
3)
Penguasa
yang ketiga dengan gelar Ma’dika yaitu gelar penguasa yang diciptakan oleh
Tangdilino’ dari
Banua Puang Marinding, yaitu
Puang yang memerdekakan dirinya dari aturan Puang, (mungkin kata Ma’dika ini
berasal dari kata Maradika = Merdeka). Gelar ini digunakan di daerah bagian
Barat dan diikuti oleh nama daerah kekuasaannya misalnya :
-
Ma’dika
Simbuang
-
Ma’dika
Ulusalu
-
Ma’dika
Mamasa dll.
Jadi dengan
masuknya penguasa – penguasa bersama dengan pengikutnya dan terjadi perkawinan
dengan penduduk asli Toraja yang telah ada sebelumnya, maka dengan asimilasi
kebudayaan maka terbentuklah tatanan masyarakat dan suku yang dikenal dengan
nama Suku Toraja dengan Adat dan Kebudayaannya seperti sekarang ini.
Dari 3 daerah Adat
Toraja / Tondok Lepongan Bulan Tana
Matarik Allo berdasarkan Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau
Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) di atas, maka nyata bahwa tiap daerah adat itu
sejak dulu tidak saling menguasai satu dengan yang lainnya, namun tetap
merupakan satu kesatuan negeri yang bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik
Allo dan kesatuan atau keadaan demikian
berlaku sampai datangnya penguasa baru dengan satu zaman tersendiri yang dikenal
dengan zaman datangnya Tomanurun – Tomanurun di Tondok Lepongan Bulan Tana
Matarik Allo pada permulaan abad ke-13.
3. Zaman
datangnya Tomanurun – Tomanurun di Toraja .
Kurang lebih 150
tahun sesudah tersebarnya Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau
Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) di Toraja, datang pula gelombang penguasa baru tanpa pengikut yang dikenal dengan nama
Tomanurun (orang yang berasal dari langit). Kedatangan Tomanurun – Tomanurun
tersebut merupakan ancaman kepada penguasa – penguasa Aluk Pitung Sa’bu Pitu
Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) yang sudah menguasai
seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, berhubung Tomanurun –
Tomanurun kelihatan lebih cakap dan memiliki kewibawaan memimpin masyarakat karena
dianggap keturunan dari langit.
Menurut sejarah Toraja,
ada beberapa orang Tomanurun yang datang di Toraja, namun yang terkenal adalah :
- Tomanurun Manurun di Langi dari Kesu’
- Tomanurun Tamboto Langi’ di Kandora
- Tomanurun Mambio Langi’ di Kaero.
Selain Tomanurun tersebut, masih ada
lagi beberapa Tomanurun yang datang di Toraja tetapi tidak banyak dikenal dalam
sejarah Toraja karena Tomanurun di atas mempunyai susunan pemerintahan yang
terbina terus – menerus dan banyak meninggalkan dan banyak meninggalkan
sejarah.
Menurut sejarah,
Tomanurun ini adalah orang yang cerdik, mendekatkan diri dengan masyarakat
secara bijaksana dan mengajar cara bercocok tanam dan beternak yang baik, maka
dengan jalan demikian masyarakat menyebut Tomanurun sebagai orang yang maha
tahu dan saleh karena terbukti dengan bimbingannya, masyarakat memuja Puang
Matua seperti dalam Ajaran Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau
Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777).
Demikianlah maka
semua Tomanurun itu digolongkan dalam golongan manusia yang lebih tinggi
tingkatannya di masyarakat dengan nama To Matasak (matasak = mulia), yang
kemudian bergelar Matasak ri Toraja setelah datangnya Patta La Bantan, anak
dari Lakipadada. Ketiga Tomanurun di atas yaitu Manurun di Langi’, Tamboro
Langi’ dan Mambio Langi’ datang di daerah Adat Kapuangan menurut pembagian dari
Banua Puan dimana penguasanya bergelar Puang, sehingga Tomanurun tersebut pun
bergelar Puang tetapi dianggap lebih tinggi derajatnya daripada Puang yang
telah ada lebih dulu, karena mereka dianggap berasal dari langit.
Sejak itu maka Tomanurun
mengambil alih kekuasaan dari Puang non Tomanurun dan menjadi penguasa
tertinggi dan masyarakat menyebutnya :
“ To mamma’ balian to matindo bai tora, to
tang urrangi arrak tang umpendailing gamara, to dikulambu mawa’ to dirinding doti langi’, to mamma’ dao pue
– pue rara’na,
to matindo dao palangka bulawan, to tang ditimba mata bubunna tang disiok
tondon turunanna, tang diola boko’na tang dilomban tingayona tang na lambi’
peroso kalando…….,
dst.
Artinya :
“orang yang tidur nyenyak dalam
kemuliaannya tak diganggu serta tak mendengar suara gaduh, tak dapat dihampiri
dan tak dapat diduga keinginannya……….., dst...”
Sejak Puang –
Puang Tomanurun merebut seluruh kekuasaan tertinggi dari Puang non Tomanurun di
daerah Adat Kapuangan, maka mereka mulai menerapkan tata cara pemerintahan baru
yang disesuaikan dengan keadaan dan kedudukan serta pandangan masyarakat kepada
mereka sebagai orang yang berasal dari langit. Terutama setelah Puang Tomanurun
Tamboro Langi’ sebagai Tomanurun yang terakhir menciptakan Aturan Baru untuk
pembinaan kekuasaan yang dikenal dengan nama Aluk Sanda Saratu’ (aturan genap
seratus yang sebenarnya monarchis), maka di daerah Adat Kapuangan mulai
disebarkan Aluk Sanda Saratu’ di samping Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung
Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777). Sehubungan dengan itu, maka
orang berpendapat bahwa di Daerah Kapuangan berlaku ajaran Aluk Sanda Karua
(Aluk 8888). Dengan adanya penyebaran Aluk Sanda Saratu' tersebut, maka daerah
Adat Kapuangan mengalami perubahan besar yang sangat menonjol dibanding dengan dua
daerah Adat Pekamberan dan Ma’dika yang tetap menggunakan ajaran Aluk Pitung
Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777).
Perubahan yang
terjadi adalah dalam hal hubungan antara Puang Tomanurun dengan masyarakat di
bawahnya yang berubah menjadi pemerintahan yang Monarchictis dengan melepaskan
pemerintahan Demokratis ala Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau
Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777), tetapi dalam hal Keyakinan atau pandangan Agama
masih menggunakan Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda
Pitunna (Aluk 7777). Sehingga daerah Adat Kapuangan terkenal dengan struktur
pemerintahan dan kemasyarakatan yang Monarchi dan daerah Adat lain (Padang di
Ambei’ dan Padang di Ma’dikai) tetap dengan struktur pemerintahan dan
kemasyarakatan yang berdasar pada Kekeluargaan dan Kegotongroyongan
(Demokrasi). Di samping Tomanurun tersebut di atas, masih ada beberapa Tomanurun lain tetapi
tidak datang di daerah Kapuangan antara lain : Tomanurun ri Rombe Ao’,
Tomanurun di Tangsa, Tomanurun di Sado’ko’, dll
Terbaginya
Daerah Adat Kapuangan
Puang Tomanurun
yang terakhir dari Puang Tomanurun tersebut di atas ialah Puang Tomanurun
Tamboro Langi ‘ yang
menciptakan aluk sanda saratu’. Puang Tamboro Langi’ adalah seorang Puang
Tomanurun yang cakap lebih disegani oleh masyarakat karena aturan yang
diciptakannnya itu memperkuat kedudukan Puang Tomanurun pada umumnya dan bagi
Puang Tamboro Langi sendiri khususnya.
Puang Tomanurun
Tamboro Langi’ dengan Aluk Sanda Saratu’ yang telah disusunnya itu disebarkan
di seluruh Daerah Adat Kapuangan atau Daerah Tengah Tondok Lepongan Bulan yang
pada mulanya mendapat sambutan masyarakat Daerah Adat Kapuangan berkat keuletan
dari keempat puteranya yang berusaha menanamkan Ajaran tersebut, tetapi lama
kelamaan merosot kembali karena sebahagian anaknya kurang meyakini ajaran yang
monarchistis itu akan dapat menggantikan ajaran yang demokratis yang berdasar
Kesatuan Kekeluargaan dan Kegotong Royongan.
Daerah yang tak dapat
melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro’ Langi’ adalah
Daerah Padang di Puangngi bahagian Utara, yaitu Daerah Kesu’ dan sekitarnya
yang tetap melaksanakan Aluk Sanda Pitunna sepenuhnya, yang juga sebelum
datangnya atau terciptanya Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro
Langi’ masih mempergunakan Gelar Puang menurut pembabahagian Daerah Adat dari
Banua Puan Marinding.
Setelah
tersebarnya Aluk Sanda Saratu’, maka ajaran ini hanya dapat tertanam pada
bahagian Daerah Adat Kapuangan, karena bahagian Utara Daerah Adat tidak menerima ajaran Aluk Sanda Saratu’
tersebut yang monarkhis, maka dengan jalan demikian Daerah Adat Kapuangan atau
Daerah Tengah Tondok Lepongan Bulan terbagi 2 (dua).
Daerah Kapuangan
yang menerima Aluk Sanda Saratu’ tetap memakai Gelar Puang untuk jabatan –
jabatan Penguasa Adatnya, dan kemudian bahagian utara yang tidak menerima Aluk
Sanda Saratu’ mempergunakan atau mengganti Gelar Puang yang telah ada dengan
Gelar Sokkong Bayu (Sokkong = kuduk,
bayu = baju) yang artinya bahagian dari baju yang paling lekas kotor. Jadi arti
Sokkong Bayu ialah pemikul tanggung jawab karena sesuai dengan peranannya
sebagai penguasa adat yang demokratis.
Kedua Daerah yang saling
berpisah itu tetap
terikat dengan ketentuan atau dasar Lesoan Aluk menurut pembahagian dari Banua
Puan yaitu dengan Dasar Lesoan Aluk Tanan
Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’, hanya saja dalam susunan pemerintahan dan
kemasyarakatan berubah dari struktur Kesatuan Kekeluargaan dan kegotong –
royongan menjadi kesatuan yang monarkis untuk Daerah Kapuangan bahagian
Selatan.
Dalam perkembangan
pemerintahan dan
kemasyarakatan di Daerah Adat Kapuangan bahagian Utara yaitu Daerah Kesu’ dan
sekitarnya kemudian termasuk dalam kelompok Adat Balimbing Kalua’ sekarang sebagai daerah yang mempunyai corak
pemerintahan dan kemasyarakatan sama dengan corak pemerintahan dan
kemasyarakatan yang demokratis dari daerah Adat Padang di Ambe’i atau Daerah
Pekamberan bahagian Timur dari Tondok Lepongan Bulan, sekalipun dasar Lesoan
Aluk tetap sama dengan Daerah Adat
Kapuangan dengan Tananan Bua’ Pemala’
Tedong Sareala’ sedang daerah Adat
Pekamberan dengan Tananan Bua’
Pemala’ Tedong Sangayoka.
Dengan demikian,
maka Daerah Kesu’ dan sekitarnya yang melepaskan diri dari ikatan Kapuangan
merupakan bahagian dari Daerah Adat Kapuangan atau Padang di Puangngi yang
mempergunakan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ dan Ajaran Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’
Pitung Pulo Pitu yang sampai sekarang ini dikenal dengan nama Kelompok Adat
Padang di Puangngi Tallu Lembangna dan Kelompok (Adat Padang dipuangngi Tallu Batupapan.
(tallu = tiga, lembangna=pemerintahan sendiri, batupapan = daerah pemerintahan
sendiri).
Dengan
terbentuknya secara resmi Daerah Adat Padang di Puangngi sejak datangnya Aluk
Sanda Saratu’ tersebut di atas, maka pusat penyebaran dari Aluk Pitung Sa’bu
Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu/Aluk Sanda Pitunna beralih dari Banua Puan Marinding ke Tongkonan Kesu’ dengan nama Penta’nakan Lolo (Penta’nakan = pesemaian,
lolo=kuncup=muda=pertama) karena dari Kesu’, seterusnya terbina dan berkembang
serta tersusun kelengkapan aturan Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777), karena Banua
Puan Marinding telah termasuk dalam Daerah Hukum atau ditaktis oleh Ajaran dan
Penguasa – Penguasa Puang dari Aluk Sanda Saratu’ yang perkembangan ini
berlangsung sejak dari sekitar abad ke-14, yang peninggalannya masih nampak di
masyarakat Toraja.
4. Sejarah
Puang Tomanurun Tamboro Langi’
Seperti
yang tela disebutkan di atas
hanya ada 3
(tiga) orang Tomanurun yang banyak dikenal dalam masyarakat dan sejarah Toraja
yaitu, Puang Tomanurun Manurun di Langi’, Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dan
Puang Tomanurun Mambio Langi’, tetapi dalam perkembangan sejarah Puang – Puang
Tomanurun di Tana Toraja sampai pada turunannya yang lebih menonjol ialah Puang
Tomanurun Tamboro Langi’ dengan istana/tongkonan Puang Kandora, baik karena
beliau adalah pencipta Aluk Sanda Saratu’ serta turunannya juga menjadi pewaris
Aluk Sanda Seratu dan Pemerintahan Kapuangan, juga sejarah dan keturunan Puang
Tomanurun Tamboro’ Langi’ banyak terkenal di luar dari Tondok Lepongan
Bulan.
Menurut sejarah
Toraja bahwa Puang Tomanurun Tamboro Langi’ yang menciptakan Aluk Sanda Saratu’
dikenal dengan nama atau julukan “Puang Pesiok
Anna Sikambi’ Aluk Sanda Saratu’” (Puang pencipta dan penyebar serta
pemelihara Aluk Sanda Saratu’) yang dipuja sebagai seorang setengah Dewa oleh
penganut- penganutnya terutama di Daerah Adat Kapuangan Tallu Lembangna dan
Kapuangan Tallu Batu Papan, yang seterusnya turunannyapun mewarisi perlakuan
demikian.
Hal ini nyata
sekali di Daerah Kelompok Adat Kapuangan Tallu Lembangna pada masa lampau
(sebelum kemerdekaan), jikalau seorang Puang pewaris Kapuangan kekuasaan Puang
Tomanurun Tamboro Langi’ menghadiri Upacara Rambu Tuka’/Pengucapan Syukur
menurut Aluk Todolo mendapat pelayanan dan perlakuan sebagai seorang setengah
dewa.
Dalam Aluk Sanda
Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ yang banyak diatur dan menjadi
masalah dan ketentuan utama ialah tentang bagaimana kedudukan Puang Tomanurun dan
turunannya dalam masyarakat baik sebagai Penguasa maupun sebagai pemegang Aluk
Sanda Saratu’ yang nampak perbedaannya dengan Penguasa Daerah Padang di Ambe’i
dan Padang di Ma’dikai karena tidak melaksanakan atau tidak menerima aturan –
aturan Aluk Sanda Saratu’.
Namun demikian
baik Daerah Adat Padang di Puangngi maupun Daerah Adat Padang di Ambe’i dan
Padang di Ma’dikai ketiga-tiganya masih memegang teguh dasar -dasar pokok dari
Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna yang
merupakan merupakan alat pemersatu dari seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan
Tana Matarik Allo dan dari dasar inilah merupakan titik tolak dari tumbuhnya
dan terbinanya Kebudayaan Toraja seterusnya.
Dalam masyarakat
Toraja sekarang ini masih sangat nyata perbedaan – perbedaan daerah Kelompok
Adat Kapuangan Tallu Lembangna dan Tallu Batupapan dengan/antara Daerah Adat
Padang di Ambe’i dan Padang di Ma’dikai yang pemerintahannya dan kemasyarakatannya terbina secara kesatuan, kekeluargaan dan kegotong-royongan,
yang di daerah Adat Kapuangan terbina atas dasar kesatuan yang monarchitisme
agama.
Puang Tomanurun
Tamboro Langi’ yang menciptakan dan menyebarkan Aluk Sanda Saratu’ dari Tongkonan Kandora menikah dengan seorang putri Puang
dari Tongkonan Ullin Sapan Deata
bernama Sanda Bilik dan dari
perkawinan itu lahir 8 (delapan) orang anak yaitu : 4 (empat) orang putri dan 4
(empat) orang putra, yang merupakan penerus Aluk Sanda Saratu', dimana 4 orang Putri mendiami
daerah barat Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yaitu daerah Adat Ma’dika, dan 4 orang Putra
mendiami daerah tengah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yaitu daerah Adat Kapuangan. Keempat orang
Putra ini adalah :
a.
Puang Mesok yang menguasai daerah Tengah
dan Timur Padang dipuangngi.
b.
Puang Tumambuli Buntu menguasai daerah Utara Padang
dipuangngi
c.
Puang Papai Langi’ menguasai daerah Barat Padang
dipuangngi
d.
Puang Sandaboro menguasai daerah Selatan
Padang dipuangngi.
Puang Sandaboro
yang menguasai daerah Adat Kapuangan bagian selatan dengan Tongkonan Batu
Borrong menikah dengan Datui Pattung atau Ao’ Gading dan melahirkan 2 orang
anak yaitu Puang Matemalolo (perempuan) dan Puang Lakipadada (laki-laki).
Setelah dewasa,
Puang Lakipadada mengembara mencari kehidupan abadi (male undaka’ tangmate) yang pada akhirnya tiba di Kerajaan Gowa
sebagai seorang yang tidak dikenal dan dari mana datangnya. Tetapi karena Puang
Lakipadada memiliki keahlian dan kesaktian sebagai seorang turunan Raja, maka
Lakipadada diperlakukan sebagai seorang raja yang besar. Sebagian besar orang
Gowa mengatakan bahwa anak raja yang tidak dikenal itu berasal dari Timur
menurut mitos asal Raja – raja di Sulsel, sehingga menyebut Lakipadada Tau Raya
(Raya = timur), dan menyebut daerah asalnya sebagai Tana Tau Raya,yang
kemungkinan menjadi sumber kata Tana Toraja.
Menurut sejarah
Toraja, Lakipadada menikah
dengan Putri Kerajaan Gowa yaitu Karaeng
Tara Lolo, dan melahirkan 3 orang Putra masing-masing :
a)
Patta La Bantan kembali ke Toraja dan bergelar Matasak ri Toraja
b)
Patta La Merang berkuasa di Gowa dan bergelar Somba ri Gowa
c)
Patta La Bunga pergi ke Luwu dan bergelar Payung ri
Luwu atau Wara’
Dalam Sejarah
Toraja ketiga anak Puang Lakipadada inilah yang kemudian menguasai tiga rumpun
tersebut pada akhir abad ke-14, yang dikenal dengan nama Tallu Botto (Botto=puncak). Patta La Bantan kembali ke Toraja untuk
melanjutkan peranan Tongkonan Kandora sebagai pusat penyebaran Aluk Sanda
Saratu' dari Puang Tamboro Langi’. Patta La Bantan kembali dengan membawa
bendera bernama Bate Manurung (yang
dibuat dari kain merah dengan sulaman benang berwarna emas berbentuk Rajawali)
bersama dengan dua pedang pusaka kekuasaan yaitu Dosso dan Maniang. Patta La Bantan juga diberi mata uang logam
sebagai alat tukar menukar yang dikenal dengan Mata Oang, yang masih tersimpan di Sangalla’.
Patta La Bantan
kembali ke Toraja dengan menggunakan perahu dan berlabuh di pantai Bungi’ dekat
muara Sungai Sa’dan untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan dengan menyusuri
Sungai Sa’dan dan tiba di Batu Sapan Deata. Di daerah ini ia mulai mencari
tempat untuk mengatur pemerintahannya tetapi karena daerah itu berbatu – batu,
maka ia melanjutkan perjalanan ke arah timur dan tiba di sebuah lembah yang
agak luas (Kolam Makale sekarang ini). Patta La Bantan kemudian mendirikan
rumah pada satu bukit di sekitar lembah itu dan memberinya nama Buntu Bungi’
atau Buntu Bungin (Letak Gereja Sion sekarang) sebagai peringatan saat mendarat
di Pantai Bungi’ di muara sungai Sa’dan.
Dari sana Patta La
Bantan mulai menerapkan pemerintahannya tetapi mendapat tantangan dari penguasa
Puang yang telah berkuasa yang juga turunan dari Puang Tamboro Langi’. Ia
kemudian melanjutkan perjalanan ke bagian utara di daerah kekuasaan Tongkonan
Nonongan sekaligus menikah dengan seorang putri dari Tongkonan Nonongan, Petimba Bulaan, cucu dari Datu Manaek
dari Kesu’ atau anak dari Puang Lolon Datu dengan Puang Malalun Sanda dari
Tongkonan Nonongan.
Di Nonongan, Patta
La Bantan membantu mertuanya membangun kekuasaan dan pemerintahan tetapi dalam
sejarah Nonongan Patta La Bantan tidak pernah berkuasa di Nonongan, hanya
dikatakan bahwa istri Patta la Bantan yaitu Petimba Bulaan adalah cucu dari
Datu Manaek. Patta La Bantan tidak pernah menetap yang mungkin disebabkan
karena tugas yang dibebankan ayahnya Lakipadada untuk menguasai daerah Lepongan
Bulan. Hal inilah yang menjadi persengketaan dimana sebenarnya pusat
pemerintahannya karena ada yang mengatakan di Makale dan ada yang mengatakan di
Saluputti.
Dari perkawinan
dengan Petimba Bulaan, melahirkan 2 orang anak yaitu Puang Manturino dan Puang
Pataang Langi’. Puang Manturino kawin dengan Rangga Bulaan (banyak mempunyai
sejarah dan cerita di dalam masyarakat Toraja) dan melahirkan 2 orang anak
masing-masing Puang Panggalo – Galo’ yang tetap tinggal di Nonongan dan Puang
Timban Boro yang pergi ke Makale kemudian ke Kaero dengan membawa Bate Manurun,
Dosso dan Maniang.
Sejak itu
terbinalah daerah kekuasaan Padang di Puangngi dengan menerapkan Aluk Sanda
Saratu' secara penuh yang berlaku di daerah Tallulembangna dan Tallubatupapan.
Adapun daerah Kesu’ yang sebelumnya masuk dalam daerah adat Kapuangan menurut
pembagian dari Banua Puan Marinding sama sekali tak dapat menerima ajaran Aluk
Sanda Saratu' dan merupakan daerah tersendiri yang dinamakan Daerah Adat
Balimbing Kalua’ dan termasuk dalam daerah adat Padang di Ambei’.
Puang Timban Boro
dan turunannya di Makale/Rano menerapkan dasar kekuasaan dari pemerintahan
Kapuangan , kemudian berpindah ke Kaero sebagai Tongkonan Mambio Langi’ untuk
maksud yang sama, dan dengan demikian cita – cita dari Patta La Bantan untuk
menguasai dan mempersatukan seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan yang telah
dibentuk oleh Tangdilino’ Penguasa To Banua Puan pada sekitar abad ke-X tidak berhasil, karena baik
anak-anaknya dan turunannya seterusnya sebagai pelanjut dan pemegang warisan
kekuasannya hanya dapat menguasai Daerah Adat Di Puangngi bagian Selatan yang
sampai sekarang ini masih tetap merupakan satu Daerah Adat Padang di Puangngi
yang penguasa – penguasa Adatnya bergelar puang.
Sampai sekarang ini lambang atau bendera kekuasaan dari Patta La Bantan atau turunan Puang Tomanurun yaitu sebagai panji Kekuasaan Daerah Adat Padang di Puangngi seperti Bate Manurun, Pedang Dosso dan Pedang Maniang tetap terpelihara dan tersimpan baik di Tongkonan Kaero di Sangngalla’ sebagai salah satu pusat pembinaan kekuasaan turunan Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ dan pelanjut cita-cita Patta La Bantan.
Sampai sekarang ini lambang atau bendera kekuasaan dari Patta La Bantan atau turunan Puang Tomanurun yaitu sebagai panji Kekuasaan Daerah Adat Padang di Puangngi seperti Bate Manurun, Pedang Dosso dan Pedang Maniang tetap terpelihara dan tersimpan baik di Tongkonan Kaero di Sangngalla’ sebagai salah satu pusat pembinaan kekuasaan turunan Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ dan pelanjut cita-cita Patta La Bantan.
5. Aluk
Sanda Saratu’ dari Puang Tamboro Langi’
Aluk Sanda Saratu’
(Ajaran Agama dan Aturan Kemasyarakatan yang monarkhi) seperti yang telah
diuraikan diatas merupakan salah satu Ajaran yang tercipta di Tondok Lepongan Bulan disamping
ajaran Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) yang diciptakan dan disebarkan oleh Puang
Tomanurun Tamboro Langi’ pada sekitar abad ke-XIII.
Aluk Pitung Sa’bu
Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) dari Banua Puan
Marinding yang diciptakan oleh Tandilino’ dan Pong Sulo Ara’ adalah ajaran yang
bersumber dari Sukaran Aluk yang masih tetap dipegang teguh oleh Pong Sulo Ara’
dan Ajaran ini sudah tersebar luas serta merata di masyarakat Tondok Lepongan
Bulan sebelum datang Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’
yang diterapkan dalam 3 (tiga) Dasar Lesoan Aluk yang terkenal dengan Dasar
Lesoan Aluk Padang di Ambe’i, Padang di Puangngi dan Padang di Ma’dikai, yang
seterusnya dalam perkembangannya disebut Aluk Todolo karena ajaran yang dianut
oleh orang dulu-dulu ) Todolo = orang dulu – dulu).
Perpaduan antara
Aluk Sanda Saratu' yang dibawa oleh Puang Tamboro Langi' dengan Aluk Pitung
Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) dikenal
masyarakat adat Kapuangan dengan nama Aluk
Sanda Karua (Aluk 8888) artinya Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo
Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) ditambah dengan Aluk Sanda Saratu'. Aluk
Sanda Saratu' lebih mengatur dalam hal tatanan hubungan kekuasaan penguasa Aluk
Sanda Saratu', Puang Tamboro Langi' dengan masyarakat dan penguasa sebelumnya
(Puang non Tonamurun). Hal ini menempatkan Puang Tomanurun sebagai titisan
Deata dari langit dan diberi peranan sebagai penguasa sekaligus pemegang tampuk
pimpinan agama dalam kedudukannya sebagai titisan Deata.
Karena itulah maka
keturunan Puang Tamboro Langi' memangku jabatan Penguasa Adat Puang dan
dimuliakan sebagai penguasa mutlak yang seterusnya menjadi Penguasa Adat
Monarchi Agama. Akan tetapi mereka tidak merubah dasar tatanan asas Aluk Tallu
Oto’na yaitu menyembah kepada Puang Matua, Deata dan Tomembali Puang sebagai
ajaran dari Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda
Pitunna (Aluk 7777) dari Banua Puan yang dikenal sekarang dengan nama Aluk
Todolo.
Letak perbedaan
utama antara daerah adat kapuangan dengan daerah adat lainnya (Padang di Ambei’
dengan Padang di Ma’dikai), adalah adanya aturan pemerintahan dan
kemasyarakatan yang diatur oleh ajaran yang menempatkan penguasa adat kapuangan
sebagai penguasa mutlak yang Monarchi dalam kata lain ajaran Aluk Sanda Saratu'
adalah ajaran dan aturan yang Monarchis.
Jadi perbedaan
menonjol antara daerah adat Kapuangan dengan daerah adat Padang di Ambei’ dan
Padang di Ma’dikai adalah :
- Perbedaan Dasar Lesoan Aluk untuk Upacara Tananan Bua’ sebagai dasar terbaginya daerah Tondok Lepongan Bulan berdasarkan Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777)
- Daerah adat Padang di Ambei’ dan Padang di Ma’dikai tidak melaksanakan ajaran Aluk Sanda Saratu' yang hanya dilaksanakan di daerah adat Kapuangan bagian selatan yaitu Tallulembangna dan Tallubatupapan.
Setelah Aluk Sanda
Saratu' mulai berkembang di daerah adat Kapuangan, daerah adat Kapuangan bagian
Utara yaitu Daerah Kesu’ tidak menerima ajaran Aluk Sanda Saratu' menyebabkan
padang dipuangngi terbagi 2 yaitu :
- Bagian Selatan daerah adat Kapuangan melaksanakan Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) ditambah dengan Aluk Sanda Saratu'
- Bagian Utara daerah adat Kapuangan tidak menerima ajaran Aluk Sanda Saratu' dan hanya melaksanakan Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) yaitu daerah Kesu’ dan sekitarnya sama dengan daerah adat Pekamberan dan daerah adat Kama’dikan.
- Oleh karena daerah Adat Kesu’ tidak melaksanakan ajaran Aluk Sanda Saratu', maka daerah tersebut memisahkan diri dari daerah adat Kapuangan yang Monarchis dan tetap dengan pemerintahan dengan kesatuan dan kegotongroyongan. Mereka kemudian menggunakan gelar “Sokkong Bayu”, yang selanjutnya masuk ke dalam daerah adat Padang di Ambei’ untuk susunan Pemerintahan dan Kemasyarakatan namun Dasar Lesoan Aluk Kapemalaran untuk Tananan Bua’ tetap sama dengan daerah Adat Kapuangan sebagaimana yang terbagi dari Banua Puan. Daerah bagian selatan Padang di Puangngi dikenal sekarang dengan nama Tallulembangna (Makale, Sangalla’, Mengkendek) dan Tallubatupapan yang masuk administrasi pemerintahan Kabupaten Enrekang.
catatan :
1) Tana Toraja dalam tulisan di atas telah terbagi dua menjadi dua kabupaten (Tana Toraja & Toraja Utara) ..
2) sejarah singkat toraja ini menurut buku Toraja & Kebudayaan ...
ulasanx bagus,sebagai putera asli LETTA,ULASAN DI ATAS SERING KALI DI BINCANGKAN OLEH ORANG TUA SAYA.MESKIPUN SIFATX TUTURAN,TETAPI HAMPIR SEMUA INTI ULASANX SAMA.
Boleh minta filenya kh? 085216324585