Rampanan Kapa' (2)

3. STRUKTUR SOSIAL DALAM MASYARAKAT TORAJA

Untuk menjelaskan boleh tidaknya pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat perlu digambarkan lebih dahulu status sosial yang dipahami ada dalam masyarakat. Masyarakat Toraja sering dikabarkan (tetapi sangat hati-hati) bahwa terdiri dari empat kelas, yakni kelas bangsawan = tana’ bulaan, kelas bangsawan menengah = tana’ bassi, kelas rakyat jelata/ masyarakat umum = tana’ karurung, kelas hamba/ pesuruh = tana’ kua-kua.
Pertama : kelas bangsawan (golongan Puang/ Ma’dika/Siambe’-Sindo’) dengan symbol tana’ bulaan (patok emas dengan nilai) 24 ekor kerbau. Simbol ini melekat pada suatu tanggung jawab. Ketika ia menikah dia harus menikah dengan golongan yang sama. Apabila menyimpang dari ketentuan itu perkawinannya terhalang oleh adat. Menurut ketentuan adat pada mulanya, jika golongan bangsawan  menikah harus disahkan sesuai dengan kastanya yakni menentukan bahwa patokan yang akan dipakai adalah Tana’ bulaan (patok emas). Maksud dari ketentuan ini adalah jika terjadi perceraian maka pihak bersalah yang menyebabkan perceraian harus membayar denda (kapa’) sebanyak 24 ekor kerbau, sedangkan  harta yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi milik anak-anak.
Kedua : adalah kelas bangsawan menengah dengan symbol tana’ bassi (patok besi). Tana’ bassi bernilai 12 ekor kerbau. Jika salah seorang bersalah dalam rumah tangga dan menyebabkan terjadinya perceraian dia harus membayar denda 12 ekor kerbau.
Ketiga :  adalah golongan masyarakat umum dengan symbol tana’ karurung (patok beling pohon enau). Jika salah seorang dari pasangan ini bersalah dan menyebabkan terjadinya perceraian maka dia harus membayar denda (kapa’) sebanyak 6 ekor kerbau (di tempat lain hanya 2 ekor).
Golongan yang keempat adalah Golongan hamba (to disua = saluan anak) dengan symbol tana’ kua-kua (rumput gelagah). Jika salah seorang dari pasangan ini bersalah dan menyebabkan terjadinya  perceraian maka dia harus membayar denda (kapa’) sebanyak seekor induk babi (bai doko).
Tujuan dari keharusan membayar denda oleh pihak yang pergi (menceraikan) adalah untuk mencegah perceraian karena jaman dulu amat susah untuk menyiapkan kerbau sebanyak yang ditentukan (di luar kemampuan) masing-masing golongan. Namun pada zaman sekarang ini denda tersebut tidak sulit dipenuhi, jadi gampang mengajukan cerai. Apa lagi kalau dalam prakteknya tidak pernah dibayar utuh karena pada umumnya selalu ada kesalahan bersama yang keduanya sudah tidak mau lagi hidup bersama. Ketika terjadi pemutusan berdasarkan peradilan adat, denda (kapa’) tidak pernah dibayar utuh karena separuhnya diambil oleh hadat pendamai. 

4. LARANGAN & HUKUMAN DALAM PERKAWINAN ADAT TORAJA
LARANGAN :
Pemali umbolloan pa’to’ : tidak boleh membatalkan pertunangan yang telah disahkan. Jika dilanggar, yang bersalah harus membayar denda sesuai dengan hukum tana’.
Pemali Ussongkan dapo’ : tidak boleh memutuskan perkawinan yang telah sah. Yang bersalah harus membayar kapa’ denda sesuai dengan patokan (tana’) kedua pasangan itu.
Pemali ma’pangngan buni (ma’kalosi dibuni) : tidak boleh berbuat zinah. Hukumannya pelaku  harus memotong babi ditanggung bersama oleh yang melanggar. Jika perkawinan tidak dapat diteruskan pelaku harus diusir dari lingkungan adat tersebut.
Pemali  umpenampa’ daun talinganta : tidak boleh mempermainkan perkawinan.
Pemali unteka’ palanduan : tidak boleh mengawini perempuan  yang lebih tinggi kasta/ derajatnya.
Pemali urromok bubun dirangkang : tidak boleh mengawini janda atau duda yang belum  lewat satu musim panen padi mininggalnya suami atau isterinya. Atau suami/ isterinya belum setahun dikubur, karena menurut kepercayaan bahwa hubungan suami isteri baru dapat diputuskan melalui upacara perpisahan. 

HUKUMAN : 
Dibutan bubun : sumur keluarga ditutup untuknya, tidak boleh lagi menimba air dari sumur tersebut. Diputuskan hubungannya dengan keluarganya.
Dipalumbangi issong : ditutupi lesung panjang. Dunianya dipersempit sehingga tidak bebas bergaul dengan masyarakat luas. Dianggap sudah hina.
Dipakombai (dipapontoi Uwe) : digelangi rotan (bukan lagi gelang emas) = dibuat seperti terhina, diturunkan derajatnya.
Dibeberapa wilawah adat, ada hukuman yang lebih berat diantaranya dilammu' (ditenggelamkan), dialli' (dibuang ke luar kampung), ditunu (dibakar).
Kelihatannya beberapa hukuman ini sungguh tidak manusiawi, namun karena orang Toraja menganut ada’ tuo bukan ada’ mate. (Tuo tang mate- mapia tang kadake). Yang hidup tidak akan mati yang baik tidak akan jelek. Seberat apa pun masalah kalau sudah diproses secara adat maka yang mesti dihukum mati diganti dengan kerbau yang dibunuh. Jika kerbau yang telah korban dapat diganti dengan babi. Jika babi yang telah korban dapat diganti dengan ayam. Jika ayam yang telah korban dapat diganti dengan kata/maaf. Kalau ada’ mate : hukumannya adalah jika ia membunuh hukumannya adalah harus mati juga (gigi ganti gigi)

0 comments:

Post a Comment

Post a Comment