Pemerintah kelihatan semakin serius dalam hal lingkungan ketika muncul berita bahwa Menteri Negara Lingkungan Hidup akan berupaya memperoleh pendanaan hutan konservasi senilai 370 juta dollar AS dari dunia internasional (Kompas, 13/9).
Terlepas dari berita baik di atas, ada hal-hal yang perlu diubah. Misalnya, masih terdapat dominansi pandangan yang lebih menekankan hubungan antara manusia dan alam sebagai hubungan subyek-obyek. Atas nama pembangunan kita memperlakukan hutan dan lingkungan sebagai obyek belaka dan mengeksploitirnya untuk kepentingan ekonomi. Pola hubungan ini tidak dapat dipertahankan lagi karena sudah terbukti mendatangkan lebih banyak malapetaka.
Untuk keluar dari masalah ini, perlu diingatkan untuk kembali melaksanakan pembangunan bottom-up dan melibatkan peran budaya lokal. Salah satunya adalah kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, yang tersimpan dengan sistematis dalam tradisi lisan mereka.
Di sini diusulkan untuk mencari pola hubungan manusia-alam versi lain. Pola hubungan itu dapat dapat ditemukan dalam budaya lokal.
Tradisi lisan Toraja, misalnya, menyimpan kearifan lokal yang memperlihatkan pola hubungan bukan subyek-obyek, melainkan subyek-subyek. Teks-teks tradisi lisan yang muncul dalam bentuk tuturan ritus (ritual speech), mitos, cerita, peribahasa, pantun, pemali, lagu-lagu, dan lain-lain mengonstruksi hubungan itu sebagai "hubungan saudara".

"Aluk todolo"
Masyarakat Toraja mendiami daerah pegunungan sebelah utara Provinsi Sulawesi Selatan. Toraja menjadi daerah tujuan utama wisata karena budayanya yang unik.

Teks-teks tradisi lisan Toraja mengonstruksi kehidupan sosial, yaitu membangun obyek-obyek, dunia, ide, dan hubungan sosial. Teks-teks ini secara sistematis mengatur relasi manusia dengan dunia sakral (dewa-dewa dan leluhur), manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.

Tema paling mencolok ialah cita-cita untuk mencapai kehidupan ekologis yang harmonis. Sistematisasi tema ini, proses intertekstualitas teks, dan pemunculannya dalam berbagai bentuk, seperti mitos, cerita, pemali, dan berbagai ungkapan lainnya, menandakan suatu kondisi genting kehidupan petani pada masa lampau. Kondisi kehidupan yang genting itu mirip dengan homo homini lupus Hobbes; ketika manusia serakah terhadap alam dan menjadi serigala buat lainnya.

Pelaksanaan ajaran

Tidak mengherankan kalau kemudian muncul aluk todolo, "agama leluhur" orang Toraja yang melembagakan praktik-praktik pengetatan pelaksanaan ajaran, aturan, dan tatanan kehidupan sosial. Masih dipraktikkan sekitar 3 persen penduduknya (Biro Statistik 2006) dan sudah dilindungi oleh negara serta resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali pada tahun 1970, agama ini bersumber dari dua ajaran utama, pertama, yang disebut Aluk 7777 atau Aluk Sanda Pitunna (aluk yang serba tujuh), dan kedua, Aluk Sanda Saratu’ (aluk yang serba seratus). Baik Aluk 7777 yang disebarkan oleh Tangdilino’ maupun Aluk Sanda Saratu’ yang disebarkan Puang Tamborolangi’ dipercayai turun dari langit.
Pengelolaan lingkungan yang diatur Aluk bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara-aluk, larangan (pemali), kebenaran umum (sangka’ ), dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Pengelolaan lingkungan Aluk sendiri terdiri atas aluk tallu lolona, a’pa’ tauninna yang artinya "upacara yang terdiri atas tiga pucuk kehidupan dan empat tembuni".
Disebut tiga aluk karena ia meliputi upacara menyangkut manusia (aluk tau), upacara tanam-tanaman (aluk tananan), dan upacara menyangkut hewan (aluk patuan). Dikatakan empat karena di samping ketiga hal di atas ada lagi satu upacara yang disebut upacara menebus kesalahan (suru’ pengkalossora).

Masyarakat Toraja patut berbangga karena mempunyai mitos penciptaan yang dikonstruksi dalam satu teks yang terdiri atas ribuan baris paralel yang disebut passomba tedong, "persembahan kerbau kepada Yang Kuasa" (Van der Veen 1965). Teks ini dinarasikan semalam suntuk, disertai persembahan seekor kerbau kecil ke Yang Kuasa pada waktu melakukan upacara rumah (tongkonan). Muncul dalam bentuk paralelisme sebagai ciri tuturan ritus setempat, teks tradisi lisan ini dipelihara, dikontrol, dan dikuasai serta diturun-temurunkan secara genealogis oleh sekelompok pemimpin upacara kehidupan rambu tuka’, yaitu tomina dan tomenani.
Dalam teks ini penciptaan dunia terdiri atas dua bagian, yaitu perjalanan dewa-dewa dan ajaran agama di langit (lalanna sukaran aluk) serta perjalanan leluhur di bumi (lalan ada’). Teks penciptaan mengonstruksi bahwa baik nenek manusia maupun nenek binatang dan tanaman berasal dari sumber yang sama (sauan sibarrung) dan mereka bersaudara (sang serekan).
Namun, setelah turun ke bumi mereka melaksanakan fungsi secara berbeda-beda. Pada mulanya Puang Matua menciptakan satu kelompok moyang yang genap delapan (to sanda karua), yaitu nenek manusia (Datu Laukku’), nenek pohon ipo atau ipuh (Allo Tiranda), nenek kapas (Laungku’), nenek hujan (Pong Pirik-Pirik), nenek burung (Menturini), nenek kerbau (Manturini), nenek besi (Riako), dan nenek padi (Takkebuku). Sisa-sisa penciptaan-Nya dituangkan ke lembah-lembah yang kemudian tumbuh sebagai hutan-hutan.
Inti ajaran dalam teks ini, kata tua-tua adat, ialah manusia tidak boleh serakah dan memperlakukan alam secara semena-mena karena mereka bersaudara. Sebelum masuk hutan (pangngala’ tamman), upacara harus dilakukan untuk meminta izin kepada nenek moyang yang bersangkutan agar tidak mengakibatkan kematian.

"Tongkonan" dan "Alang"

Pembangunan rumah tongkonan dan lumbung alang harus dilandasi oleh hubungan saudara dengan hutan sebagai sumber bahan ramuan. Prinsip hubungan ini muncul dalam kontinuitas kehidupan. Penebangan pohon adalah mematikan karena itu harus ada upaya agar kayu mati tadi dihidupkan.
Dalam budaya ini kayu mati menjadi hidup kalau bahan kayu rumah yang diletakkan secara horizontal bagian batang bawah berada di selatan (muara sungai), sedangkan bagian atas kayu menghadap sumber mata air (utara) ke langit yang tertinggi. Tiang-tiang dan dinding rumah juga memakai prinsip sama, yaitu semua bahan harus ditata tumbuh ke atas.
Hanya dengan perlakuan demikian maka kontinuitas hidup terjamin dan pohon-pohon ini menghidupkan penghuninya. Kemudian, dalam pelaksanaan ritus kehidupan atau kematian, bahan-bahan kayu dibutuhkan (dimatikan) dan untuk menjaga kontinuitas kehidupannya pohon-pohon baru seperti pohon berdaun lebar (lamba’), beringin, cendana, dan kedondong harus ditanam kembali (dihidupkan). Kedondong dipercayai sebagai penangkal petir melindungi pohon-pohon lain karena buahnya asam. Bila pohon-pohon ini tumbuh, maka akan mendatangkan rezeki bagi seluruh kampung.
Hubungan saudara ini juga dikonkretkan dalam pembangunan pasangan rumah/lumbung. Rumah dikategorikan sebagai wanita (baine), sedangkan lumbung sebagai laki-laki (londongna banua). Hubungan antara keduanya adalah hubungan saudara.
Ini misalnya dibuktikan dengan pemakaian istilah kekerabatan untuk menamai tiang pusat rumah yang terbuat dari kayu nangka (a’riri posi’), yaitu anak dara-anak dara. Laki-laki memakai nama ini untuk memanggil saudara perempuannya, sedangkan yang terakhir memanggil saudara laki-lakinya anak laki-laki (anak muane).
Tongkonan dan alang adalah mikro-kosmos mewakili makro-kosmos yang menekankan hubungan saudara, yaitu langit (laki-laki) dan bumi (wanita), atau Puang Matua pencipta (saudara laki-laki) yang berdiam di langit dan Datu Baine (saudara perempuan) yang berdiam di bumi.
Proses pembangunan rumah/lumbung ini harus didasarkan pada kebenaran umum yang diturun-temurunkan (sangka’), yang sudah diuji kebenarannya, suatu praktik yang menghidupkan dan tidak mematikan. Hal ini ditandai dengan penempatan simbol-simbol di depan tongkonan yang mirip salib yang disebut jejeran kebenaran (dandanan sangka’).
Yang menarik adalah kebenaran umum dikonstruksi dalam bentuk cerita, yang bagi kebanyakan kita tidak lebih dari sekadar "cerita". Banyak cerita sangka’ yang diceritakan secara turun temurun (ulelean batu silambi’) tentang kecelakaan dalam penebangan pohon-pohon di hutan yang dibawa hanyut air sungai. Cerita demikian dapat ditemukan dalam berbagai versi dari kampung ke kampung.
Singkatnya, perlakuan alam secara saudara harus didasarkan pada serangkaian kebenaran karena tongkonan adalah doa dan harapan yang menarik datangnya (ullambe) rezeki (dalle’), kebahagiaan (kamasannangan), keselamatan (kamarendengan), dan kekayaan (eanan).

Tuturan ritus
Masyarakat Toraja punya ideologi bahasa yang mirip dengan apa yang Austin dan Wittgenstein katakan, yaitu bertutur dan berbicara adalah suatu social action yang punya akibat. Yang paling ditakuti ialah kalau kegiatan berbicara itu mendatangkan bala (tula). Sebaliknya, yang paling didambakan adalah bila kegiatan bertutur mendatangkan kebaikan (kameloan).
Dipercayai, misalnya, bahwa dalam nama pohon terdapat dua kekuatan, yaitu kekuatan mematikan dan menghidupkan. Dalam mitos turunnya Pong Mula Tau (manusia pertama) di Rura (sekarang masuk kecamatan Enrekang) Tangdilino’ menyuruh Pong Bulu Kuse dan Pong Sabannangna masuk ke dalam hutan untuk menebang pohon-pohon. Karena mereka serakah hendak menebang pohon tanpa melakukan upacara, semua pohon menyebutkan namanya, yang menyebabkan kematian (kada beko) akan terjadi pada manusia kalau mereka menebangnya. Keserakahan terhadap alam adalah pertanda hubungan non-saudara.
Hanya dengan mediasi ritual likaran biang, yaitu upacara kehidupan dengan mengorbankan ayam di hutan, maka pohon-pohon itu mengungkap unsur-unsur dari totalitas kehidupan. Pohon nangka akan mendatangkan kekayaan bagi penghuninya, pohon uru akan mendatangkan banyak babi besar, pohon betau akan membangun manusia seutuhnya, dan seterusnya.
Kearifan lokal yang dikonstruksi dalam tradisi lisan Toraja dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan. Inti utamanya adalah membangun hubungan manusia dan alam sebagai hubungan subyek-subyek, yaitu dengan menerapkan "hubungan saudara". Hubungan non-saudara (subyek-obyek) hanya akan mendatangkan sifat serakah, penebangan liar, dan lain-lain. Adapun hubungan saudara (subyek-subyek) yang didasari ajaran agama, kebenaran-kebenaran yang turun-temurun, serta mediasi ritual akan mendatangkan kesuburan dan kehidupan.

ditulis oleh :
Stanilaus Sandarupa 
(Anggota Asosiasi Tradisi Lisan, Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Sastra, Unhas)

1 comments:

Post a Comment
  1. sember ??

Post a Comment