3. STRUKTUR SOSIAL DALAM MASYARAKAT TORAJA
Untuk menjelaskan boleh tidaknya
pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat perlu digambarkan lebih dahulu status
sosial yang dipahami ada dalam masyarakat. Masyarakat Toraja sering dikabarkan (tetapi
sangat hati-hati) bahwa terdiri dari empat kelas, yakni kelas bangsawan = tana’
bulaan, kelas bangsawan menengah = tana’ bassi, kelas rakyat jelata/ masyarakat
umum = tana’ karurung, kelas hamba/ pesuruh = tana’ kua-kua.
Pertama : kelas bangsawan
(golongan Puang/ Ma’dika/Siambe’-Sindo’) dengan symbol tana’ bulaan (patok emas dengan nilai) 24 ekor kerbau. Simbol ini
melekat pada suatu tanggung jawab. Ketika ia menikah dia harus menikah dengan
golongan yang sama. Apabila menyimpang dari ketentuan itu perkawinannya
terhalang oleh adat. Menurut ketentuan adat pada mulanya, jika golongan
bangsawan menikah harus disahkan sesuai
dengan kastanya yakni menentukan bahwa patokan yang akan dipakai adalah Tana’
bulaan (patok emas). Maksud dari ketentuan ini adalah jika terjadi perceraian
maka pihak bersalah yang menyebabkan perceraian harus membayar denda (kapa’)
sebanyak 24 ekor kerbau, sedangkan harta
yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi milik anak-anak.
Kedua : adalah kelas bangsawan
menengah dengan symbol tana’ bassi
(patok besi). Tana’ bassi bernilai 12 ekor kerbau. Jika salah seorang bersalah
dalam rumah tangga dan menyebabkan terjadinya perceraian dia harus membayar
denda 12 ekor kerbau.
Ketiga : adalah golongan
masyarakat umum dengan symbol tana’
karurung (patok beling pohon
enau). Jika salah seorang dari pasangan ini bersalah dan menyebabkan terjadinya
perceraian maka dia harus membayar denda (kapa’) sebanyak 6 ekor kerbau (di
tempat lain hanya 2 ekor).
Golongan yang keempat adalah
Golongan hamba (to disua = saluan anak) dengan symbol tana’ kua-kua (rumput gelagah). Jika salah seorang dari pasangan
ini bersalah dan menyebabkan terjadinya
perceraian maka dia harus membayar denda (kapa’) sebanyak seekor induk
babi (bai doko).
Tujuan dari keharusan membayar
denda oleh pihak yang pergi (menceraikan) adalah untuk mencegah perceraian karena
jaman dulu amat susah untuk menyiapkan kerbau sebanyak yang ditentukan (di luar
kemampuan) masing-masing golongan. Namun pada zaman sekarang ini denda tersebut
tidak sulit dipenuhi, jadi gampang mengajukan cerai. Apa lagi kalau dalam
prakteknya tidak pernah dibayar utuh karena pada umumnya selalu ada kesalahan
bersama yang keduanya sudah tidak mau lagi hidup bersama. Ketika terjadi
pemutusan berdasarkan peradilan adat, denda (kapa’) tidak pernah dibayar utuh
karena separuhnya diambil oleh hadat pendamai.
4. LARANGAN & HUKUMAN DALAM PERKAWINAN ADAT TORAJA
LARANGAN :
Pemali
umbolloan pa’to’ : tidak boleh membatalkan pertunangan yang telah disahkan.
Jika dilanggar, yang bersalah harus membayar denda sesuai dengan hukum tana’.
Pemali
Ussongkan dapo’ : tidak boleh memutuskan
perkawinan yang telah sah. Yang bersalah harus membayar kapa’ denda sesuai
dengan patokan (tana’) kedua pasangan itu.
Pemali
ma’pangngan buni (ma’kalosi dibuni) : tidak boleh berbuat zinah. Hukumannya
pelaku harus memotong babi ditanggung
bersama oleh yang melanggar. Jika perkawinan tidak dapat diteruskan pelaku
harus diusir dari lingkungan adat tersebut.
Pemali umpenampa’ daun talinganta : tidak boleh
mempermainkan perkawinan.
Pemali
unteka’ palanduan : tidak boleh mengawini perempuan yang lebih tinggi kasta/ derajatnya.
Pemali
urromok bubun dirangkang : tidak boleh mengawini janda atau duda yang
belum lewat satu musim panen padi
mininggalnya suami atau isterinya. Atau suami/ isterinya belum setahun dikubur,
karena menurut kepercayaan bahwa hubungan suami isteri baru dapat diputuskan
melalui upacara perpisahan.
HUKUMAN :
Dibutan bubun : sumur keluarga
ditutup untuknya, tidak boleh lagi menimba air dari sumur tersebut. Diputuskan
hubungannya dengan keluarganya.
Dipalumbangi issong : ditutupi
lesung panjang. Dunianya dipersempit sehingga tidak bebas bergaul dengan
masyarakat luas. Dianggap sudah hina.
Dipakombai (dipapontoi Uwe) : digelangi rotan (bukan
lagi gelang emas) = dibuat seperti terhina, diturunkan derajatnya.
Dibeberapa wilawah adat, ada hukuman yang lebih berat diantaranya dilammu' (ditenggelamkan), dialli' (dibuang ke luar kampung), ditunu (dibakar).
Kelihatannya beberapa hukuman ini sungguh tidak manusiawi, namun karena orang Toraja menganut ada’ tuo bukan ada’ mate. (Tuo tang mate- mapia tang kadake). Yang hidup tidak akan mati yang baik tidak akan jelek. Seberat apa pun masalah kalau sudah diproses secara adat maka yang mesti dihukum mati diganti dengan kerbau yang dibunuh. Jika kerbau yang telah korban dapat diganti dengan babi. Jika babi yang telah korban dapat diganti dengan ayam. Jika ayam yang telah korban dapat diganti dengan kata/maaf. Kalau ada’ mate : hukumannya adalah jika ia membunuh hukumannya adalah harus mati juga (gigi ganti gigi)
Kelihatannya beberapa hukuman ini sungguh tidak manusiawi, namun karena orang Toraja menganut ada’ tuo bukan ada’ mate. (Tuo tang mate- mapia tang kadake). Yang hidup tidak akan mati yang baik tidak akan jelek. Seberat apa pun masalah kalau sudah diproses secara adat maka yang mesti dihukum mati diganti dengan kerbau yang dibunuh. Jika kerbau yang telah korban dapat diganti dengan babi. Jika babi yang telah korban dapat diganti dengan ayam. Jika ayam yang telah korban dapat diganti dengan kata/maaf. Kalau ada’ mate : hukumannya adalah jika ia membunuh hukumannya adalah harus mati juga (gigi ganti gigi)
No comments:
Post a Comment