Rampanan Kapa' (3)



TINGKATAN-TINGKATAN PERKAWINAN ADAT TORAJA
1. Sino’bo’ bannang : pelaksanaan perkawinan dengan cara yang sangat sederhana. Menjelang malam calon pengantin laki-laki diantar oleh beberapa orang ke rumah perempuan. Di sana mereka diterima oleh keluarga perempuan dengan makan malam bersama. Lauk yang dimakan pada saat itu hanyalah ikan-ikan atau dengan memotong seekor ayam saja. Tidak ada upacara resmi, hanya dengan salam-salaman, perkenalan dan makan bersama.
2. Perkawinan yang lebih tinggi: Rampo Karoen: Sebelum mata hari terbenam calon mempelai laki-laki diantar ke rumah perempuan oleh beberapa orang laki-laki, perempuan tidak boleh ikut mengantar laki-laki.   Dalam perkawinan ini dipotong seekor babi sebagai lauk-pauk. Sebelum makan malam dilaksanakan upacara sederhana yang dipimpin oleh seorang Tominaa (Imam dan pemangku Adat). Calon pengantin berhadapan di dalam rumah sebelah selatan (sumbung). Laki-laki menghadap ke timur dan perempuan ke barat, sedangkan Tominaa menghadap dari utara. Di tengah pengantin ada dulang (kandean langka’) berisi makanan: nasi, daging babi  bagian jantung (bua bai) dan pesese (tulang pinggul). Dari kandean langka’ itulah pengantin mengambil makanan bersamaan. Laki-laki mengambil pesese bai sebagai lambang bahwa dia harus memakai tembilang/ mencari makanan; perempuan mengambil daging  bua/ jantung babi sebagai lambang bahwa dia selalu berhati murni menjalin hidup dalam rumah tangga.
 3. Perkawinan Rampo Allo : Upacara perkawinan yang dilaksanakan pada
siang hari. Perkawinan ini untuk tingkat bangsawan (tana’ bulaan). Upacara dihadiri para tokoh adat (toparengnge’), Tominaa dan tamu undangan.  Upacara perkawinan tingkat tinggi ini menjadi lama karena ada banyak syarat yang harus dilakukan lebih dahulu, antara lain:
a. Umpalingka kada : Keluarga laki-laki mengutus dua orang ahli bicara untuk menjajagi keadaan/ status pihak perempuan. Jika pihak perempuan belum mempunyai ikatan dari lelaki lain.
b. Umparampo pangngan: Keluarga laki-laki mengirim sebungkus sirih-pinang sebagai tanda lamaran. Jika dalam waktu 3 hari paket ini tidak  dibuka  berarti lamaran ditolak; jika dibuka berarti lamaran di terima, apa lagi kalau langsung dibagi-bagi.
c. Urrampan kapa’: Membicarakan dan menentukan tana’ mana yang akan dipakai sesuai dengan satatus kedua pasangan itu. Silsilah keturunan diulas.
d. Sinasuan : saling membuatkan makanan, wanita membuat makanan untuk laki-laki dan keluarganya dan sebaliknya untuk mempererat tali kekerabatan.
e. Ma’pasule barasang : Setelah lewat tiga hari pihak wanita mengunjungi keluarga laki-laki dan makan bersama di rumah laki-laki. Rombongan membawa bakul barasang serta baka bua yang berisi macam-macam benda pusaka. Di rumah laki-laki diadakan lagi pesta sederhana dengan makanan yang dibuat sedemikian hingga membentuk boneka anak-anak, kerbau, babi, ayam dll. Tominaa melantunkan lagu pa’tendeng yang isinya menantikan bayi yang sehat,  yang kelak jadi pintar dan kaya. Sesudah selesainya rangkaian upacara perkawinan tersebut pengantin baru dapat memilih di mana mereka akan tinggal. Mereka bisa memilih tinggal di rumah pihak laki-laki dapat juga di rumah pihak perempuan.

6.  HUBUNGAN SUAMI – ISTERI DALAM PERKAWINAN
Suami isteri dalam rumah tangga mempunyai kedudukan yang sama. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Mereka mempunyai hak yang sama terhadap harta yang diperoleh bersama selama perkawinan (torakna rampanan kapa’). Sebagaimana biaya perkawinan ditanggung bersama secara seimbang demikian juga hasil usaha bersama selalu dibagi secara seimbang. Ketika melaksanakan upacara perkawinan seluruh biaya ditanggung bersama, babi, beras, uang fifti-fifti jika mereka dalam situasi ekonomi yang sama.

 7.  KEDUDUKAN ANAK DALAM PERKAWINAN
Anak adalah buah dari Rampanan Kapa’ (perkawinan). Anak menjadi tali pengikat (peporinna Rampanan Kapa’) dan menjadi alasan untuk tidak boleh bercerai. Anak yang lahir diyakini sebagai berkat, maka menjadi tanda bahwa perkawinan itu direstui dan diberkati Tuhan (telah dikaruniai lolo tau). Sebaliknya jika tidak ada anak yang lahir dirasakan sebagai perkawinan yang tidak diberkati dan dikuatirkan keluarga akan rempo buangin (tidak mempunyai generasi pelanjut). Hal itu bisa menjadi alasan untuk bercerai dan mencari pasangan lain.

8.  HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
a. Anak Dadian (Anak Rampanan Kapa’): Anak kandung yang lahir dari perkawinan sah secara adat. Semua anak yang lahir dari perkawinan sah mempunyai hak dan kewajiban yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Mereka mempunyai hak terutama dalam hal menerima warisan dari orang tua ayah dan ibu. 
Selain mempunyai hak yang sama semua anak juga mempunyai kewajiban yang sama, terutama dalam memelihara orang tua jika sudah tua atau tidak mampu lagi mengurus dirinya. Semua anak mempunyai kewajiban yang sama untuk memotong kerbau pada penguburan ayah dan ibunya. Namun kewajiban memotong kerbau dapat berkurang bila anak tidak mampu sedangkan yang lain lebih mampu. Imbalannya adalah yang mengorbankan banyak kerbau mendapat banyak harta warisan. Hak mendapat warisan dan kewajiban berkorban selalu berkaitan. Semua anak harus berpartisipasi  membayar hutang orang tua, terutama hutang rambu solo’ (unnola lalanna to matua).
Jika semasa masih hidupnya orang tua telah membagi-bagi harta warisan kepada  anak-anaknya  semua anak wajib memotong kerbau untuk melindungi warisannnya (mangrindingi).
b. Anak Sese (setengah = ½ ). Anak sese adalah seseorang yang mempunyai status ½  (setengah) dari ayahnya. Hal itu terjadi jika seorang ibu sedang mengandung, ditinggalkan suaminya, kemudian  ibu itu kawin dengan seorang lelaki lain. Suami baru mempunyai hak setengah atas anak yang sedang dikandung isterinya, sedangkan ayah yang sebenarnya mempunyai hak setengah.
c. Anak Passarak dilammuran tama tambuk. Orang tua yang mengadofsi anak tersebut memberi kedudukan yang sama dengan anak kandungnya. Anak  itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung.
e. Anak passarak : (anak piara) . Orang tua menyapih seorang anak yang sedang menyusuh namun sudah waktunya dipisah dari ibunya. (disarakki). Orang tua yang menyapih anak itu bertanggung jawab penuh atas kehidupannya, namun tidak sama kedudukannya dengan anak kandung.
f. Anak kotte’ (anak itik): Seorang anak yang lahir ditinggalkan orang tuanya. Dia tidak tahu siapa ayah dan ibunya. Dia hanya dipelihara orang lain tanpa disahkan sebagai anaknya.

9.  KEDUDUKAN HARTA DALAM PERKAWINAN
Harta warisan yang bergerak dan tak bergerak. Harta yang bergerak misalnya, babi kerbau dan uang, sedangkan yang tidak bergerak misalnya tanah, sawah, ladang, rumah, lumbung. Harta tersebut menjadi harta bersama. Jika ada anak lahir dalam perkawian harta akan menjadi warisan bagi anak-anak. Akan tetapi jika tidak ada anak dan terjadi perpisahan (kematian atau cerai) harta warisan dari Tongkonan akan kembali menjadi milik Tongkonan masing-masing. Harta akan menjadi milik kemanakan atau saudara-saudaranya berdasarkan pengorbanannya ketika orang tersebut meninggal.
Harta yang diperoleh bersama selama dalam perkawinan (torakna rampanan kappa’)  menjadi milik bersama yang kelak akan menjadi milik anak-anak. Akan tetapi jika tidak ada  anak yang lahir dan terjadi perceraian harta akan dibagi melalui peradilan adat sesudah yang bersalah membayar kapa’ (denda) sesuai dengan hukum kastanya.  Jika salah satunya meninggal lebih dahulu, yang masih hidup mempunyai kewajiban menguburkan yang meninggal dengan upacara yang layak. Dengan demikian harta tetap menjadi milik yang masih hidup sebagai ahli waris yang sah. Ketika dia juga meninggal keluarga dari kedua belah pihak berunding untuk bersama-sama mengupacarakannya, dan harta akan dibagi-bagi sesuai dengan jumlah kerbau yang dipotong pada upacara penguburannya. Dalam perkawinan yang tidak mempunyai anak tidak ada pertalian dara antara keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan, maka tanggung jawab menguburkan mereka kalau meninggal ada pada pihak keluarga masing-masing, jenazah dikembalikan ke dalam kerabat masing-masing.

0 comments:

Post a Comment

Post a Comment