Toraya Ma’kombongan

Tulisan ini adalah hasil copy paste dari buku Toraya Ma’kombongan. “sang tiangkaran pakalebu pa’inan umbangun sangtorayaan lan lili’na Indonesia". Sebuah buku yang merupakan sumbangan pemikiran sebagai refleksi 100 Tahun Injil Masuk Toraja dan proyeksi Toraja 100 tahun ke depan di era pembaruan dan transformasi. Buku ini terdiri dari beberapa bab atau bagian, tetapi yang akan dicopy ke blog hancur ini hanya beberapa bagian saja : 


C. MENGURAI KRISIS MENEMU KENALI MASALAH


Tetapi perayaan juga menuntun kita untuk berefleksi apresiatif-kritis atas peristiwa historis-teologis, khususnya sikap awal kekristenan terhadap kebudayaan Toraja. Kita mengapresiasi sekaligus kritis terhadap upaya para zendeling untuk menjadikan aluk baru terhadap adat Toraja. Untuk maksud tersebut maka komisi Adat Gereformeerde Zendingsbond (GZB) memilih pendekatan kebudayaan Toraja yang memisahkan aluk dan ada’. Orang Toraja diminta membuang dari kehidupan mereka semua unsur yang berkaitan dengan penghormatan kepada para dewa dan nenek-moyang. Zendeling memberi panduan mana yang religius — dan harus ditinggalkan karena ‘kafir’ dan bertentangan dengan dogma — mana yang duniawi atau profan dan boleh diteruskan. Untuk semua yang religius (hubungan dan penghormatan pada yang ilahi — dimensi vertikal) digunakan istilah aluk, untuk yang profan (hubungan dengan yang fisik-jasmani — dimensi horizontal) digunakan istilah ada’, terjemahan dari kata Arab “adat”. Itulah pertama kalinya kata ada’ digunakan, karena semula hanya dikenal istilah aluk untuk mengungkapkan kedua dimensi yang melingkupi seluruh kehidupan manusia bahkan untuk menjelaskan relasi harmonis tallu lolona. Demikian utuhnya hidup manusia Toraja yang diatur aluk sola pemali ketika itu, sehingga dulu tidak dikenal penyimpangan moral seperti misalnya mencuri. Apa saja bisa ditinggal di luar rumah tanpa khawatir akan hilang diambil orang tanpa ijin.

Tuntutan pertobatan ala Barat itu ternyata eksesif, berdampak luas dan jauh ke depan khususnya dalam ritual rambu tuka’ dan rambu solo’. Karena konsep “kesatuan yang utuh-menyeluruh” dalam aluk disingkirkan, ritual mantunu menjadi melulu urusan ada’. Dengan mencabut dimensi dan nilai religiusnya, ritual adat itu menjadi sekadar hajatan sosial yang hampa-nilai-rohani. “Siri’ to mate” yang menjadi motif pengorbanan (sebagai ungkapan hormat, cinta dan sekaligus bekal bagi to mate) dalam jumlah yang sudah ditentukan berdasarkan tana’, bergeser menjadi siri’ to tuo (‘harga-diri’ orang hidup, yakni keluarga to mate), selanjutnya menjadi motif “gengsi” yang mendorong tradisi mantunu liar tak terkendali.

Pemisahan aluk dan ada’ pada awal pemberitaan Injil oleh Zendeling bagi masyarakat Toraja waktu itu sesuai dengan alam pikiran Barat yang memisahkan hal-hal yang rohani dengan yang duniawi. Tidak mudah bagi Zendeling membawa Injil kepada orang-orang yang pandangan hidupnya menganggap semua aspek kehidupannya adalah aluk (agama, religus?). Pemisahan aluk dan ada’ dianggap sesuai untuk mengadakan penginjilan kepada masyarakat Toraja yang menyatukan semua segi kehidupan dalam aluk, tetapi tidak membayangkan eksesnya pada masa depan yang mengarah kepada kecenderungan materialistik. Situasi makin parah ketika kekristenan (yang dengan pemisahan itu berusaha menggantikan aluk lama dengan aluk kekristenan) belum mampu memberikan panduan yang jelas sebagai aluk baru bagi adat-istiadat orang Toraja. Akibatnya, adat berjalan tanpa aluk, tanpa nilai-nilai yang jelas, sehingga perkembangan adat menjadi liar tak terkendali, kehidupan adat mengalami chaos. Dalam hal ini kekristenan belum mampu memerankan peran pandu kebudayaan secara optimal.

Tentu saja ada zendeling yang sangat menghargai budaya dalam mengembangkan misi di Toraja, seperti Dr. Van der Veen. Tapi dalam perjalanan sejarah, dia berada pada pihak yang “kalah” oleh pihak zendeling yang lebih dominan. Variasi sikap ini kemudian diwariskan kepada Gereja Toraja yang mandiri. Dan dalam perjalanannya kemudian, sebagaimana dikatakan oleh Th. van den End: “GZB memang menawarkan pelbagai hidangan, tetapi Gereja Toraja sebagai pelanjut dari misi GZB di Toraja menyusun menunya sendiri, khususnya dalam memerankan peran pandu bagi kebudayaan Toraja. Untuk mengetahui, sejauh mana peran pandu itu efektif, masih dibutuhkan evaluasi apresiatif-kritis.

Perlu pula ditegaskan bahwa pemisahan aluk-ada’ bukanlah penyebab satu-satunya. Berbagai pengaruh dari luar yang ikut menumpang lewat kekristenan yang datang jelas telah ikut memicu tak terkendalinya adat, khususnya tradisi mantunu. Pola pendidikan kita yang mengadopsi pola pendidikan Barat juga punya andil, karena mengasingkan anak-didik dari akar religius budayanya dan menghasilkan stratifikasi sosial terbuka berdasarkan tingkat pendidikan dan penghasilan. Kelompok terdidik dan berpenghasilan ini, terutama yang berhasil di rantau, kemudian ‘menantang’ stratifikasi sosial tertutup yang didasarkan atas keturunan. Bahkan menentang sistem sosial tana’ yang memang ditolak juga oleh kekristenan. Diruntuhkannya sistem sosial tana’ sebagai pembatas-pengendali jumlah korban hewan dalam ritual rambu solo’ maupun rambu tuka’ (tanpa instrumen pengganti oleh kekristenan) tentu saja menjadikan tradisi mantunu semakin tak terkendali, dari waktu ke waktu.

Selain hal-hal di atas, dicanangkannya Toraja sebagai daerah tujuan wisata memberikan andil yang besar merebaknya krisis budaya. Industri pariwisata telah mengondisikan budaya Toraja berada dalam jaringan komodititas ekonomi global, sehingga nilai-nilai luhur budaya Toraja sering ditelan oleh pragmatisme demi pasar pariwisata.

Dalam pasar pariwisata agama tradisional Toraja diam-diam terwujud dalam adat-istiadat dengan bentuk baru karena tuntutan kepariwisataan. Di dalam kerangka yang baru ini, ritual-ritual menjadi pertunjukan besar atau suatu objek estetik untuk dilihat, bahkan untuk “dijual.” Di awal tahun 70-an, pariwisata diperkenalkan di Tana Toraja sebagai bagian dan kebijakan pembangunan pemerintah regional dan nasional. Pariwisata Toraja adalah “pariwisata etnik” dengan kunjungan ke rumah-rumah dan kampung-kampung asli, melihat pertunjukan tari dan upacara-upacara adat, dan belanja barang-barang atau suvenir-suvenir primitif. Salah satu yang khas dan pariwisata Toraja adalah yang berfokus pada tradisi budayanya yang “unik”, terutama praktik pemakaman yang spektakuler. Fokus lain dari pariwisata Toraja adalah tongkonan dalam arti rumah leluhur yang bentuk atapnya seperti kapal dengan corak ukir yang sangat unik. Maka sebagai cap etnik Toraja dalam konteks pariwisata ditekankan pada rumah tongkonan. Pemerintah merekomendasikan, bahkan mendukung pembangunan rumah-rumah tongkonan. Ada banyak rumah tongkonan baru yang dibangun hanya untuk para wisatawan. Hotel-hotel setempat mengadopsi motif-motif arsitektural rumah tongkonan. Miniatur rumah tongkonan dan T-shirts dengan gambar rumah tongkonan, dibuat dan dijual sebagal suvenir.

Di bawah payung pariwisata perlahan-lahan adat lokal menjadi terpisah dan masyarakatnya, dan maknanya yang sesungguhnya, kemudian hanya menjadi objek seni atau bahkan komoditi pariwisata. Tongkonan lebih menjadi arsitektur artistik daripada rumah simbol persekutuan leluhur, dan upacara pemakaman hanya menjadi objek untuk dipotret. Ritual-ritual yang merupakan cara beragama leluhur, juga dipandang dalam kacamata wisatawan, dicabut dan konteks sosial keagamaannya, dan akhirnya hanya menjadi objek seni. Dalam perspektif itu terjadilah manipulasi budaya etnik untuk kemudian dipergelarkan dan dikomsumsikan dalam konteks budaya, ekonomi, dan sosial makro akibat pariwisata. Dan perlahan-lahan tapi pasti, adat-istiadat yang menjadi daya tarik pariwisata semakin terasing dari makna sesunguhnya, dan adat pun semakin menjauhi nilai luhurnya karena harus memenuhi skenario pasar pariwisata.

Pada bagian berikut ini, permasalahan-permasalahan dikelompokkan dalam tujuh krisis untuk memudahkan analisis akar masalah dan perumusan solusi strategis.
  1. Krisis Budaya (diupload terpisah)
  2. Krisis Pendidikan (diupload terpisah)
  3. Krisis SDM (diupload terpisah)
  4. Krisis Ekonomi (diupload terpisah)
  5. Krisis Pariwisata (diupload terpisah)
  6. Krisis Lingkungan Hidup: Quo Vadis Pertanian & Peternakan Babi (diupload terpisah)
  7. Krisis Politik (diupload terpisah)

0 comments:

Post a Comment

Post a Comment